Akhir-akhir ini pada kuarter keempat atau 25 tahun menuju 100 tahun kemerdekaan Indonesia, terdapat sejumlah masalah yang melanda bangsa Indonesia. Masa pelik ini dimulai dengan tantangan sulit menghadapi pandemi Covid-19. Terhitung 15 April 2021, jumlah kasus Covid di Indonesia sudah mencapai lebih dari satu juta kasus.
Belum usai masalah Covid-19, bangsa kita dilanda berbagai bencana kemanusiaan yang menyita perhatian publik, bukan hanya sekala nasional, tetapi juga internasional. Kurang dari kurun waktu satu bulan bangsa ini dihantam bencana alam bertubi-tubi. Misalnya saja banjir bandang yang melanda Lembata dan Adonara, yang terletak di ujung Timur Pulau Flores, Nusa Tengara Timur.
Menyimak dari situs resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Selasa (6/4/2021), menyatakan korban meninggal 165 orang dan 45 masih hilang.
Sementara itu, pada Sabtu (10/4/2021) gempa bumi berkekuatan magnitudo 6,1 mengguncang kawasan selatan Jawa Timur. Sebanyak 7 warga meninggal dunia dan 372 bangunan rusak, sebagaimana dikutip dari Harian Kompas, Minggu (11/4/2021).
Gempa bumi yang menguncang kawasan selatan Jawa Timur memang kerap terjadi. Hal itu karena lempeng batuan di bawah wilayah selatan Jawa Timur adalah lempeng paling tua sehingga mudah patah dan mengakibatkan terjadinya gempa, jelas Adi dalam Harian Kompas, Minggu (11/4/2021).
Situasi ini seharusnya menjadi undangan bagi kita untuk memberikan evaluasi kritis atas identitas bukan hanya manusia Indonesia, tetapi juga manusia dunia untuk menyimak dan menelaah fenomena yang terjadi dibaliknya.
Berangkat dari gagasan internasional, fenomena atas bencana kemanusiaan dan lingkungan hidup mendapat perhatian dunia sejak Dennis Meadows, mengeluarkan laporan Club of Rome dalam buku "The Limit of Growth: A Report for the Club of Rome's Project on The Predicament of Mankind", tahun 1972. Buku ini menekankan bahwa bila trend pertumbuhan kuantitatif proyek-proyek modernisasi tetap diteruskan, maka dunia akan melampaui batas kemampuannya (carrying capacity) dalam beberapa generasi dan akan berakhir dengan malapetaka. Sejak itu diskusi, dialog, seminar tentang lingkungan hidup dilakukan di mana-mana.
Apa yang disimak dalam isu-isu seputar lingkungan hidup itu merupakan keluh kesah, ketakutan, histeri dan kecemasan massa karena bumi sudah terasa tidak nyaman lagi. Lingkungan hidup semakin hari semakin rusak, bencana kemanusia terjadi di mana-mana, semakin bertambah banyak spesies makhluk hidup yang punah (Loss of species), penipisan sumber-sumber energi (Depletion of energy resources), penurunan kesuburan tanah (Land degradation) dan terjadi perubahan iklim (Climatic change) di mana-mana, sebagaimana disimak dalam A Handbooks In Theology and Ecology.
Misalnya penebangan hutan secara besar-besaran akan berdampak buruk bagi kehidupan manusia, apabila hutan menjadi gundul akan mudah terjadi bencana alam seperti longsor, banjir dan erosi (pengikisan tanah). Hutan yang gundul juga akan mengakibatkan punahnya jutaan spesies makhluk hidup.
Lewat tersebarnya isu-isu tersebut orang menyadari bahwa kita sedang berada dalam suatu krisis ekologis. Fakta-fakta umum kerusakan lingkungan, seperti penebangan hutan ilegal, tambang emas ilegal, pembukaan lahan besar-besaran itu menggugat kesadaran kita untuk mengusahakan pelestarian dan pemeliharaan lingkungan hidup. Supaya dapat menuju ke arah itu, kita harus menemukan terlebih dahulu apa yang menjadi masalah krisis ekologis tersebut, yang menyebabkan bencana kemanusiaan dan bagaimana upaya penanganannya.
Masalah Krisis Ekologis