Lihat ke Halaman Asli

Dismas Kwirinus

-Laetus sum laudari me abs te, a laudato viro-

Mengenal Upacara Adat Perkawinan Aso Sule' pada Suku Dayak Taman

Diperbarui: 10 April 2021   07:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keterangan Gambar: Upacara Adat Perkawinan Pada Salah Satu Subsuku Dayak di Kalimantan Barat - sumber: mahligai-indonesia.com

Membangun rumah tangga bagi masyarakat Dayak Taman, Kapuas Hulu, bukanlah perkara mudah untuk dilakukan. Selain mengadakan resepsi pernikahan (Nikah Gereja) juga harus mengadakan pernikahan adat yang biasanya dinamai dengan Aso Sule'. 

Upacara adat ini merupakan sebuah kegiatan yang wajib dilakukan. Aso Sule' ini dilakukan dengan tujuan untuk menyelamatkan diri sendiri atau keluarga kedua mempelai dari malapetaka, serta sebagai ucapan terima kasih kepada Jubata, terang salah seorang pengurus adat Dayak Taman.

"Upacara adat ini wajib sifatnya. Untuk waktu pelaksanaan dilakukan pada saat kedua mempelai sudah menyelesaikan semua tahap-tahap perkawinan adat secara normal, misalnya melalui tahap berikut:

1. Sikilalan (tahap perkenalan), 2. Manujuang (tahap penentuan jodoh) 3. Mananya' (tahap melamar), 4. Paloa' (tahap pertunangan) dan 5. Aso Sule' (tahap upacara perkawinan).

Dengan kata lain aso sule' merupakan tahap terakhir dari prosesi upacara adat perkawinan pada Suku Dayak Taman", jelas seorang tetua kampung.

Setelah menjalani masa paloa' pertunangan, selanjutnya kedua calon memasuki masa peneguhan dan pesta perkawinan. Upacara pesta perkawinan berpusat pada acara ipasidudukang (kedua pengantin disandingkan) dan manjejenang pakaian (meletakan pakaian/menyerahkan pakaian).

Upacara ipasidudukang merupakan upacara penerimaan pengantin laki-laki secara resmi untuk menjadi anggota keluarga secara baru dalam keluarga pengantin perempuan.

Selain itu dalam upacara ini kedua mempelai dinyatakan secara resmi suami-istri di hadapan tamu undangan yang hadir dan leluhur yang diundang melalui 'doa' para tetua adat.

Ada pun rumusan upacara ini diucapkan oleh tetua adat sebagaimana dicatat oleh Mgr. Van Kessel ketika bertugas sebagai imam dan uskup di Sintang, Kalbar sebagai berikut:

"Sa', dua, tiga, mpat, lima, nam, tujuh! Tujuh matahari tumbuh, isa', tumuh tuah, tumuh Limpah, tumuh untung, tumuh nyurung. Nema nuan, bukai tajak sebuah lajak, pulai nipak ipuk munuh, bukai beruai', suti a-i, ngami nelali tanah tumuh, bukai kenyalang sebuah lemang, nagang beramang besuluh, bukau oleh nginau di kampung juah, bukai kuku sebuah melabu, pulai nguyu', kemayau muduh. Oleh nuan bulai purih ngau bekibau, ngau bekitau, ngau menselan, ngau nemungan, ngau bejadi, ngau bensangi".

Artinya: "satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh! Tujuh matahari terbit, supaya terbit tuah, sumbuh berlimpah terbit keberuntungan, tumbuh berlipat ganda. Karena kamu, bukan burung tajak rawa, yang pulang mencari getah, racun kayu ipuh membunuh, bukan burung berui', satu air berkuasa atas tanah tumbuh, bukan kenyalang sebuah lembah yang melarang pepohonan tumbuh subur. Sebab kamu (suami-istri) mendapat keturunan dipakai untuk melamba, dipakai untuk berkipas untuk memberkati, untuk disembah, untuk menggenapkan, untuk berlindung".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline