Lihat ke Halaman Asli

Dismas Kwirinus

-Laetus sum laudari me abs te, a laudato viro-

Bermain Sape' sebagai Ungkapan Jiwa dan Simbol Presentasional

Diperbarui: 10 Oktober 2020   10:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokumen pribadi

Bermain sape' tidak hanya sekedar memetik senar atau dawai yang terdapat pada sape', yang kemudian menimbulkan suara harmoni dan indah. Bermain sape' melampaui hal itu. Bermain sape' merupakan ungkapan jiwa dan sebagai simbol presentasional. 

Sape merupakan alat musik berdawai, yang merupakan hasil kreasi manusia Dayak. Keberadaan alat musik sape' ini tetap terjaga dan terpelihara oleh orang Dayak karena merupakan kekhasan dan identitas manusia Dayak. Ada sape' dengan demikian, merupakan ada prsentasional yang mempresentasikan sesuatu dari keseluruhan identitas orang Dayak dan alam semesta. 

Manusia dalam hidupnya senantiasa membutuhkan sarana dan tanda untuk dapat mengenal Yang Tertinggi. Sebab sesuai dengan hakekatnya Yang Ilahi itu tak dapat dikenal dan dipahami oleh manusia secara langsung dengan indranya. 

Untuk mengenal Yang Ilahi itu manusia harus mampu melihat bentuk-bentuk pewahyuan Yang Ilahi dalam alam semesta. Maka simbol-simbol dapat menjadi sarana bagi manusia untuk mengenal dan memahami Yang Ilahi dan sekaligus merupakan cara Yang Ilahi untuk mengungkapkan dirinya kepada manusia. 

Dan karena Yang Tertinggi itu misteri maka simbol-simbol sebagai sarana pengungkapan diri Yang Tertinggi itu tidak terikat dan dibatasi oleh ruang dan waktu. Bila dilihat secara keseluruhan sape' bisa menimbulkan kesan tertentu bagi para pengamat atau pendengar terhadap orang Dayak. Dari bentuk simbol motif dan ukiran pada permukaan sape' memiliki kaitan dengan kehidupan orang Dayak.

Umumnya sape' tradisional tidak memiliki banyak pahatan atau ukiran, hanya motif naga atau kepala naga pada permukaannya dan pada bagian ujung leher sape' diukir kepala anjing, naga dan burung enggang. 

Motif burung enggang adalah motif yang sering digunakan dalam kegiatan seni Suku Dayak. Motif ini juga merupakan ciri-ciri untuk pembeda dari kesenian lainnya yang ada di Indonesia. Motif burung enggang dapat dikombinasikan dengan motif naga dan sulur atau akar-akaran. Burung enggang dan naga merupakan simbol penguasa alam. 

Mahatala atau Pohotara adalah penguasa alam atas yang disimbolkan sebagai burung enggang gading. Menurut kepercayaan Suku Dayak, Mahatala atau Pohotara ini merupakan jelmaan dari panglima burung yang datang pada saat peperangan. Oleh sebab itu simbol ini juga dominan dalam ukiran dan motif Suku Dayak dan digunakan juga pada bagian ujung leher sape'.

Sedangkan motif naga banyak digunakan dalam gambaran seni Suku Dayak termasuk juga untuk memperindah ukiran pada sape'. Menurut masyarakat adat, naga yang dikenal dengan nama Jata atau Juata dianggap sebagai simbol penguasa alam bawah.

Motif lainnya adalah motif anjing atau kepala anjing yang biasa diukir pada lukisan tentang pengenalan kehidupan masyarakat Suku Dayak. Dalam cerita rakyat Suku Dayak, anjing adalah binatang jelmaan dewa yang di usir dari kayangan dan diturunkan ke bumi untuk menjaga manusia. Motif ini bisa dilihat pada motif pohon kehidupan masyarakat Suku Dayak. 

Pada dasarnya Suku Dayak membuat motif anjing sebagai rasa syukur atau terima kasih kepada para hewan peliharaan mereka yang selalu menjaga dan menemani mereka pada saat berburu serta selalu setia kepada pemiliknya. Hal ini hendak menegaskan bahwa sape' sungguh merupakan kreasi manusia Dayak yang mempresentasikan perasaan dan keadaan yang menyelimuti kehidupan mereka secara presentasional.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline