Lihat ke Halaman Asli

Dismas Kwirinus

-Laetus sum laudari me abs te, a laudato viro-

Tenun Ikat Khas Dayak Desa: Dimensi Sosial-Kultural

Diperbarui: 10 Januari 2021   13:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Aktivitas menenun Tenun Ikat Khas Dayak Desa. (dok. pribadi Bpk. Niko Thomas Kinga).

Siang itu tampak berbeda ketika para perempuan dan ibu-ibu berbondong-bondong datang ke suatu tempat. Tempat itu sangat istimewa yang biasanya digunakan oleh ibu-ibu atau perempuan-perempuan Desa berkumpul.

Kalau masa dulu ibu-ibu berkumpul di ruai rumah betang untuk membuat tenun ikat di masa modern ini pun kebiasaan untuk berkumpul masih kerap dilakukan. Mereka berkumpul tidak lagi di ruai rumah betang karena sudah tinggal di rumah masing-masing. Mereka berkumpul di sebuah langkau atau pondok yang cukup luas sehingga aktivitas menenun dapat dilangsungkan.

Hal inilah yang dilakukan oleh ibu-ibu atau perempuan Desa di Dusun Tapang Sambas, Tapang Kemayau, Tapang Semadak dan sekitarnya. Mereka biasa berkumpul di waktu siang atau sore hari untuk melangsungkan aktivitas menenun.

Refleksi atas aktivitas masyarakat Dayak secara khusus Dayak Desa dalam menenun menunjukkan adanya kandungan nilai sosial -- kultural di dalamnya. Para penenun senior dengan suka rela membagikan tekhnik menenun kepada para penenun pemula.

Perempuan Desa menenun di serambi rumah betang atau dalam bahasa Dayak Desa disebut ruai sambil berbagi pengalaman dan bersenda gurau. Hal ini terjadi pada masa di mana semua orang Desa masih menempati rumah betang.

Sekarang aktivitas menenun berlangsung di langkau atau pondok yang cukup luas. Keakraban dijalin lewat sharing pengalaman dan berbagi candaan. Pada saat yang seperti itu terjalin juga transfer ilmu sosial tenunan. Baik tata aturan menenun dan makna motif di transfer kepada generasi penerus lewat cara lisan atau bercerita.

Pengelolaan bahan-bahan tenun dilakukan oleh orang Desa secara gotong royong. Para perempuan atau ibu-ibu bersama-sama mengolah bahan-bahan alami menjadi bahan dasar tenun seperti memintal kapas dan mengolah pewarna alami. Sedangkan bapak-bapak atau para bujang mencari bahan yang diperlukan untuk menenun di hutan.

dok. pribadi bik. Thomas Kinga.

Kebersamaan yang terjalin dalam proses pengerjaan kain tenun membentuk ikatan kekeluargaan di antara perempuan Desa. Ikatan kekeluargaan tersebut terbentuk sedemikian erat terjalin sehingga apabila ada salah seorang anggota keluarga dari penenun sakit maka semua aktivitas menenun harus ditinggalkan. Tindakan ini sebagai wujud nyata ungkapan solidaritas para penenun.

Solidaritas berarti sikap bela rasa, senasib. Karena itu solidaritas adalah tekat yang teguh dan tegar untuk melibatkan diri dalam kepentingan bersama "bonum commune" atau "common good" yaitu kepada kepentingan semua orang dan masing-masing orang berdasarkan sikap tanggung jawab dalam pribadi manusia.

Bagi perempuan Desa solidaritas merupakan kata lain dari cinta kasih yang menggerakkan kaki, tangan, hati, materi, bantuan dan pengorbanan serta membangun kesetiakawanan terhadap sesama yang menderita.

Solidaritas adalah realisasi dari sikap yang berani memberi diri untuk mencintai, memperhatikan, berempati terhadap sesama yang menderita, sakit, miskin dan terlupakan. Sikap inilah yang mendorong perempuan Desa untuk peka terhadap sesamanya dan hal itu sangat jelas telihat dalam aktivitas mereka dalam kehidupan sehari-hari.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline