Lihat ke Halaman Asli

Dani Iskandar

Menulis itu berbagi pengalaman dan menginspirasi http://menulismenulislah.blogspot.co.id

Tragedi New Zealand, Sebuah Bentuk Kesalahan Berpikir

Diperbarui: 17 Maret 2019   18:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam minggu terakhir ini kita dikejutkan dengan serentetan berita tragis yang tidak bisa diterima nalar kita secara normal. Bagaimana kejadian tragis itu bisa sampai terjadi. Seorang pria menusuk paha penumpang transjakarta, bom bunuh diri Sibolga, penembakan membabi buta jamaah sholat Jumat di Mesjid New Zealand dan pernyataan Senator Australia yang menyalahkan Muslim New Zealand.

Rangkaian peristiwa tragis ini merupakan bentuk-bentuk kesalahan berpikir manusia yang terjerumus dalam jebakan berpikir yang ada. Apabila kita telusuri literatur-literatur yang membahas proses berpikir manusia, kita akan menemukan bahwa Berfikir merupakan aktifitas otak, maka berfikir akan menentukan apa tindakan kita selanjutnya.

Kesalahan Berpikir

Ada beberapa Kesalahan Berpikir menurut Jalaluddin Rakhmat dalam literaturnya yang pada kenyataannya dipandang sebagai hal yang sepele, yang tidak terlalu penting diperhatikan dalam konteks berpikir sehari-hari. Tetapi hal terkecil seperti itu sebenarnya yang menjadi acuan primordial kita dalam bertindak. Jika proses berpikir kita berangkat dari pola yang irrasional dan tidak substantif, maka tindakan kita akan menerapkan hasil dari pola berpikir tersebut.

Sebaliknya, jika proses berpikir kita akurat dengan segala pertimbangan-pertimbangan nalar, maka tindakan kita akan menjadi abstrak belaka. Oleh karenanya, setiap manusia harus melakukan berbagai upaya dalam menghindari diri dari proses kesalahan berpikir demikian. Jalaluddin Rakhmat juga menjelaskan bahwa kesalahan berpikir seseorang disebutnya sebagai intellectual cul de sacs yang sudah berakar dari individu ke individu lain, dari satu otak ke otak lain yang tanpa kita sadari kesalahan tersebut sudah menggelar identitas dalam praktik berpikir kita.

Pada kasus penusukan yang terjadi di transjakarta, pria tersebut merasa direndahkan jika ada orang duduk sambil mengangkat kakinya, ia trauma, ia merasa ada yang membisikkan bahwa orang yang mengangkat kaki tersebut merendahkannya. Ini merupakan bentuk kesalahan berpikir  fallacy of misplaced concretness menurut Jalaluddin Rakhmat, yakni menganggap sesuatu yang terjadi berasal dari takdir Tuhan, sehingga manusia tidak memiliki upaya atau inisiatif untuk berusaha sedikitpun.

Pola pikir seperti ini dapat menciptakan manusia-manusia yang tunduk pada suatu keadaan dan tidak memiliki keinginan untuk merekonstruksi kejadian tersebut menjadi lebih baik. Sama halnya dengan pelaku bom bunuh diri yang terjadi di Sibloga yang terduga merupakan bentuk pencucian otak yang dilakukan ISIS yang masuk dalam sebuah keluarga hingga seorang ibu tidak bisa lagi berpikir normal hingga meledakkan dirinya bersama dua bayinya.

Tragedi penembakan jamaah Sholat Jumat di Mesjid Al Noor dan Linswood di kota Christchurch, New Zealand merupakan bentuk kesalahan berpikir Fallacy of Dramatic Instance. Kesalahan ini berawal dari kecendrungan orang untuk melakukan apa yang dikenal dengan over-generalisation. Yaitu, penggunaan satu dua kasus untuk mendukung argumen yang bersifat general atau umum. Kerancuan berfikir semacam ini banyak terjadi dalam berbagai telaah sosial.

Argumen yang overgeneralized ini biasanya agak sulit dipatahkan. Karena, satu-dua kasus rujukan itu seringkali diambil dari pengalaman pribadi seseorang (individual's personal experience). Brenton Tarrant sang pelaku dan Senator Australia, Fraser Anning, yang ditimpuki telor oleh seorang remaja, menganggap kaum Imigran Muslim di Australia dan Selandia Baru menjadi sebab berbagai teror, kebencian disana. Pengalaman dan trauma akan teroris ISIS yang mengatasnamakan Islam, membuat pemikiran Tarrant dan Anning, mengeneralisir bahwa Islam adalah Teroris, sehingga Imigran Muslim harus diusir dan dibantai dari Australia dan Selandia Baru.

Kita seringkali terjebak dalam proses berpikir kita sendiri, mengeneralisir suatu keadaan menjadi kondisi yang umum terjadi, berlakon, terobsesi menjadi seseorang yang kita baca di komik, superhero di film dan jagoan di game online.

Kita tidak bisa membedakan sebab akibat, kita terjebak dalam Circular reasoning yaitu pemikiran yang berputar-putar; menggunakan konklusi (kesimpulan) untuk mendukung asumsi yang digunakan lagi untuk menuju konklusi semula dan jebakan-jebakan kesalahan berpikir lainnya yang menjerumuskan kita ke dalam tindakan yang aneh, anarkis, membenarkan yang salah dan mau menang sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline