Lihat ke Halaman Asli

Dani Iskandar

Menulis itu berbagi pengalaman dan menginspirasi http://menulismenulislah.blogspot.co.id

Harga Tipu-tipu

Diperbarui: 6 Juni 2016   12:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Sekitar 10 tahun yang lalu, sebelum saya menikah dan tinggal masih di sebuah kamar kos, tergiur dengan harga coret (sebutan saya untuk harga promo dengan mencoret harga sebenarnya), saya membeli sebuah rak buku bersusun 3 di pasar moderen di Cempaka Mas dengan harga hanya Rp 50.000 saja. Selang 2 minggu kemudian datang lah seorang teman dari Labuan Bajo, NTT. Dia tertarik dengan rak buku yang ada di kamar saya, dan dia lebih tertarik lagi dengan harga yang saya katakan hanya gocap, 50 ribu saja. Ya, saat itu ada 2 model yang dijual, model tanpa pintu dan dengan pintu yang harganya Rp 80.000. 

Teman saya ini berniat untuk membeli beberapa rak untuk dibawa ke NTT, mumpung lagi di Jakarta. Sesampainya di pasar tersebut, kami blusukan mencari rak yang dimaksud, tetapi tidak ada. Kami mencari di bagian furnitur dan display promo, tetap tidak ada. Bukan rak nya yang tidak ada. Tetapi rak dengan harga gocap itu yang tidak ada. Rak tersebut ada dan sekarang dijual dengan harga Rp 100.000. 

Teman saya pun mengatakan bahwa saya telah berbohong. Waduh, dia gak percaya dan mengatakan kenapa kemarin tidak membeli 2 atau 3 rak. Lha, mana saya tau kalau teman saya mau datang ke Jakarta dan mampir ke kosan saya. Untuk meyakinkan beliau, kami pun memanggil karyawan toko dan menanyakan harga sebenarnya. Dan karyawan tersebut menjelaskan bahwa benar kemarin harga itu sudah normal kembali ke harga semula Rp 100.000 dan memang 2 minggu sebelumnya rak itu didiskon dengan harga Rp 50.000 saja. Tetapi waktu promonya sudah habis saat kami datang waktu itu. Jelas, saya tidak bohong.

Kejadian 10 tahun yang lalu itu masih berlanjut hingga kini, pasar-pasar moderen, supermarket-supermarket seperti Hypermart, Transmart, Giant, Tip Top minimarket-minimarket ber-AC seperti Indomaret, Alfamaret, Superindo, departemen store seperti Matahari, Ramayana yang bertebaran di negeri ini selalu melakukan promo, diskon, harga coret untuk menggaet konsumennya baik melalui selebaran, iklan di koran maupun televisi. Berbagai trik penentuan harga dilakukan toko-toko modern ini mulai dari slogan "jika ada yang lebih murah, kami ganti selisihnya", membuat belanja tengah malam "midnight sale, promo sayuran di hari kamis, buah-buahan di hari selasa, belanja pakaian dalam diskon 70% dari jam 14.00-17.00, buy 1 get 1 free, beli Rp 100.00 untuk pakaian berlabel biru dapat voucher Rp 50.000 dsb dsb. Trik-trik ini tentu saja tidak kita dapatkan di pasar becek, warung bu Imah, kedai Wak Soleh dekat rumah kita.

Paling-paling kita mendapatkan harga sayur, ikan dan buah-buahan yang lebih murah di siang atau sore hari, dilebihin buah dan telur 1 butir, ditambahin 1 sachet kopi dan hal-hal yang tidak mungkin dilakukan oleh toko-toko modern tadi. Tapi bagaimana dengan harganya, ya stabil. Tidak pernah Wak Soleh tau-tau mengumbar deterjen separoh harga tetapi besoknya minyak goreng menjadi 3x lipat. Tidak pernah kita temui Bu Imah, promo Coca Cola beli 2 gratis 1 pisau cukur, kecuali memang dari distributornya membuat ketentuan seperti itu. 

Di warung tradisional kita bisa berinteraksi dengan banyak pihak, ada kuli panggul, tukang becak, pengemis, bisa bersosialisasi dengan tetangga kompleks, bisa menawar harga. Tetapi harganya tidak bohong. Naik ya naik, dan tidak gila-gilaan jika Anda belanja secara rutin. Turun ya turun, tidak akan pernah Anda dapati harga yang sudah didiskon begitu bayar pakai kartu kredit tertentu harganya didiskon lagi. 

Kita Memang Senang Ditipu

Apa daya, masyarakat kita saat ini memang senangnya ditipu, dibohongin. Justru kalau Anda jujur, Anda menjual dengan harga sebenarnya, dengan mengambil marjin yang hanya 10-20%, konsumen kita justru malah tidak percaya dengan Anda. Dibilanglah barang Anda tidak berkualitas, kadaluarsa, barang afkir, apa saja dilontarkan dari apa hal-hal buruk yang mereka pikirkan. 

Teringat akan cerita Dosen Pengantar Bisnis saya di Ekonomi UI dulu. Ketika itu ia dan istrinya membuka toko batik di Pasar Sunan Giri, Rawamangun. Dia mencoba terobosan baru dengan menjual baju-baju batik murah dengan harga dibawah 100 ribu. Saat itu kita lagi menggalakkan pemakaian batik menjadi pakaian sehari-hari. Setelah 1-2 bulan buka, penjualan buruk. Hanya 1-2 orang yang masuk ke toko mereka, itu pun belum tentu membeli. Kemudian Dosen saya ini, mengubah mindset orang atas tokonya itu. 

Semua label harga baju di tokonya diganti dengan harga baru. Semua pakaian dijual dengan harga minimal 100 ribu rupiah. Baju yang sama dengan modal yang sama, yang awalnya si bapak hanya mengambil marjin normal kini dijual dengan harga jual 3-5x lipat harga 2-3 bulan lalu. Dan anehnya, orang-orang yang tadinya menganggap batik pak dosen tadi murahan kini dianggap barang berkualitas. Batiknya laris manis. Makanya tak heran kita bila pintar menawar di pasar seperti mangga dua, tanah abang, jatinegara dan pasar-pasar di kota-kota lainnya di Indonesia ini, suka terkaget-kaget. Kok bisa ya nawar tas harga Rp 300.000 laku seharga Rp 80.000, gak salah nih, Gamis 500.000 bisa gue beli seharga Rp 225.000. Tapi kenyataannya ya seperti itu. Banyak orang yang tertipu dengan harga yang ditawarkan, yang gak bisa nawar, yang males debat, males berdesak-desakan kalah dengan harga si pedagang yang hanya bisa turun 10-50 ribu atau bahkan gak bisa ditawar. Padahal keuntungan yang diraihnya bisa 2-5x lipat modal mereka. 

Apakah ini fair ?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline