Lihat ke Halaman Asli

17 Mei 2010

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Dadaku terbelah menjadi dua.

Tidak ada yang tahu.
Aku sedang terkunci bersama hitamku di suatu ruangan.
Ada garis merah kehitaman yang berbau amis mengalir membelah pusarku
Ada ngeri di dalam nganga yang mengelam
Kurogohkan telapak tanganku ke dalamnya
Di manakah memar?
Di manakah biru?

Tidak ada.

Hanya merah yang menghitam.

Kurenggut perlahan lalu pecah.
Sekejap, tubuhku lumpuh.

Ada sinar yang terang menyorot ketelanjanganku
Ada cermin yang menantang aku dihadapanku
Ada cipratan darah di sekujur kulitku
Ada ceceran merah yang menghitam mengotori lantai dan wajahku
Ada jantung usang di remasan jari-jariku.

Memar menghambur.

Aku tidak lagi berfungsi.
Aku melihat kemelasan diriku di depan cermin
Dan aku harap aku bersedu-sedan
Tetapi tidak bisa.
Airmataku terkunci menjadi dosa yang mengutuk sekujur tubuhku.

Dan ketika aku ingin hidup kembali
Kulihat diriku memakan ceceran merah yang menghitam yang telah usang.

Kamar,
Senin, 17 Mei 2010
22:24

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline