Produk halal telah menjadi bagian penting dalam bisnis global dengan potensi yang sangat besar dan menjanjikan. Produk halal kini tidak hanya berkembang di negara-negara Islam, tetapi juga menjadi perhatian di negara-negara sekuler yang menganggapnya sebagai isu penting. Beberapa negara di Asia dan Eropa juga mulai memajukan produk halal dengan fokus pada pertumbuhan populasi Muslim yang terus meningkat setiap tahunnya. Sebagai contoh, Turki saat ini tengah mengembangkan sektor pariwisata halal untuk memaksimalkan potensi tersebut (Arifin, 2023).
Indonesia sendiri merupakan salah satu negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam. Berdasarkan data dari World Population Review pada tahun 2020 dalam (Amalia et al., 2024), terdapat sekitar 229 juta penduduk Muslim di Indonesia, dengan total populasi masyarakat Indonesia yang diperkirakan mencapai 273 juta jiwa, maka jumlah penduduk Muslim di Indonesia mencapai 87,2% dari keseluruhan populasi. Besarnya populasi Muslim ini turut mendorong tingginya permintaan terhadap produk halal.
Sayangnya, meskipun Indonesia merupakan negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, perannya masih hanya sebatas pasar konsumen produk halal. Indonesia hanya menduduki peringkat ke-10 sebagai produsen produk halal secara global. Sebanyak 12,6% produk halal dalam sektor makanan diimpor ke Indonesia (Arifin, 2023). Lebih mengejutkan lagi, produsen utama makanan halal di dunia bukan berasal dari negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim, melainkan dari negara-negara non-Muslim.
Selandia Baru misalnya, menjadi salah satu pengekspor daging halal terbesar di dunia, sementara Thailand menyebut dirinya sebagai Halal Kitchen of The World, Korea sebagai World's Main Destination of Halal Tourism, China sebagai the Highest Modest (Halal) Clothing Export, Brazil sebagai the Largest Supplier of Halal Poultry, serta Inggris menemptkan dirinya sebagai Islamic Finance Hub of the West (Purwowidhu, 2023).
Untuk mendukung industi halal di Indonesia, pemerintah kemudian mengeluarkan regulasi keharusan adanya jaminan produk halal dalam bentuk sertifikasi halal. Regulasi ini tertuang melalui Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) yang berlaku sejak 17 Oktober 2019 (Amalia et al., 2024). Untuk memperluas sertifikasi halal bagi UMKM, pemerintah melalui Kementerian Agama dan BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) kemudian meluncurkan program Sertifikasi Halal Gratis (Sehati), program ini dikeluarkan untuk menyederhanakan proses pengajuan sertifikasi halal dan memudahkan para pelaku UMK untuk memperoleh sertifikasi halal tanpa biaya. Program ini dilakukan melalui pernyataan mandiri (self-declare) dari pelaku usaha, yang kemudian diverifikasi dan divalidasi oleh pendamping Proses Produk Halal (PPH).
Perluasan sertifikasi halal sendiri memiliki urgensitas yang tinggi, sebab berdasarkan data dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), terdapat sekitar 30 juta produk usaha yang memerlukan sertifikasi halal. Sayangnya, baru ada sekitar 725.000 produk yang telah bersertifikat halal, dengan 405.000 di antaranya berasal dari sektor UMKM (Adji, 2024). Selain itu, laporan Kementerian Keuangan (2021) menunjukkan bahwa dari 65 juta UMKM di Indonesia, hanya 1% yang telah memiliki sertifikasi halal (menpan.go.id, 2021).
Padahal, berdasarkan data dari Lembaga Layanan Pemasaran-Koperasi Usaha Kecil Menengah (LLP-KUKM), sertifikasi halal justru memberikan dorongan signifikan bagi produk UMKM. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya peningkatan lebih dari 700% pada produk halal UMKM antara tahun 2012-2019. Produk UMKM yang telah bersertifikat halal mendapatkan nilai tambah dan lebih mudah mengakses pasar yang lebih luas (Indraputra, 2024).
Maka dari itu, untuk mendukung program sertifikasi halal di Indonesia, sivitas akademika Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung kembali menyelenggarakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) sebagai wujud pengabdian kepada masyarakat. Salah satu program KKN yang diadakan adalah KKN Tematik Halal, di mana mahasiswa membantu pelaku UMKM yang seringkali kurang memahami proses pengajuan sertifikasi halal.
Selain sertifikasi halal, para pelaku usaha juga didampingi dalam memperoleh Nomor Induk Berusaha (NIB) untuk pengembangan usaha mereka. KKN Tematik Halal tahun ini dilaksanakan secara mandiri, sehingga memungkinkan mahasiswa bekerja secara individu di berbagai wilayah tempat mereka tinggal. Tugas utama mereka adalah mendampingi para pelaku UMKM dalam proses pengajuan sertifikasi halal, terutama bagi usaha mikro dengan modal di bawah Rp500 juta.
Sebelum memulai praktik di lapangan, mahasiswa yang mengikuti program ini menjalani pelatihan sebagai P3H selama tiga hari yang diselenggarakan oleh LPH UIN Bandung. Tugas utama mereka adalah mendampingi UMKM untuk mendapatkan sertifikasi halal dengan metode self-declare, di mana kehalalan produk dinyatakan oleh pelaku usaha dan diverifikasi oleh Pendamping Proses Produk Halal (P3H). Setiap mahasiswa diharapkan dapat membantu setidaknya 15 UMKM. Tahun ini, sekitar 250 mahasiswa dari UIN Bandung terlibat dalam program KKN Tematik Halal ini.
Oleh karena itu, selain membantu dalam penerbitan NIB dan Sertifikasi Halal, pelaku usaha juga mendapatkan edukasi tentang produk halal. Edukasi ini bertujuan untuk memperdalam pemahaman pelaku usaha mengenai pentingnya sertifikasi halal serta proses yang perlu ditempuh untuk mendapatkannya. Sebab, sertifikasi halal tidak hanya meningkatkan kepercayaan konsumen tetapi juga membuka akses ke pasar yang lebih luas, baik domestik maupun internasional. Dalam hal ini, sertifikasi halal menjadi langkah strategis bagi UMKM untuk memperkuat daya saing dan keberlanjutan usaha mereka.