Lihat ke Halaman Asli

Membisniskan Nyawa Seseorang

Diperbarui: 10 Oktober 2015   20:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Ditengah kerumunan banyak orang, Abu Dzar Al-Ghifari ra mengangkatkan tangannya. “Saya bersedia sebagai penjamin pemuda itu, ya Khalifah” ucapnya. Pemuda yang dijamin itu pun pergi untuk menyelesaikan urusannya, dia diberi waktu 3 hari untuk menyelesaikannya. Jika dia tidak kembali, maka Abu Dzar ra lah yang akan dikenai sanki qisas (membunuh kembali sang pelaku yang disebabkan karena telah membunuh seseorang). Hal ini terjadi karena berawal dari unta pemuda tersebut yang memakan dan merusak kebun seorang pria, pria itu marah karena hasil kebunnya dimakan unta itu, lalu memukul unta itu dengan batu besar. Pemuda itu tidak terima dengan perbuatan sang pria itu, lalu terjadi pertengkaran hebat hingga pria itu meninggal, padahal beliau meninggalkan 2 orang anak yang sudah besar. Kedua anak itu menuntut pemuda itu ke pengadilan sehingga pemuda itu dikenai sanki qisas oleh hakim.

Semua orang ikut merasa cemas, was-was, menanti kembali pemuda itu. Hingga hari ketiga, matahari mulai tenggelam, pemuda itu tak kunjung kembali. Abu Dzar ra meminta agar hakim menunggu hingga watu magrib tiba, kegundahan hati tak lepas dari hati setiap orang karena khawatir jika pemuda itu tak kembali, maka Abu Dzar ra -sahabat Rasulullah saw yang terkenal shaleh dan terkenal, yang sering berdakwah ke pemuka suku-suku- itu akan dieksekusi.

Namun kegundahan hati itu telah berakhir, pemuda itu berlari tergopoh-gopoh menghampiri Abu Dzar ra, peluh keringat membasahi seluruh tubuhnya. Dia menghabiskan seluruh tenaganya, berlari sekuat tenaga untuk mencapai suatu tujuan, yaitu tempat eksekusi dimana nyawanya akan berakhir disana. “Mengapa engkau datang kemari dengan berlari?” Tanya hakim. “Aku datang kemari dengan berlari karena aku meninggalkan untaku di tengah perjalanan sana, lalu akan berlari karena aku khawatir akan datang terlambat sehingga orang yang menjaminku (Abu Dzar ra) akan dikenai sanki”

Umar bin Khatab ra pun bertanya pada pemuda itu “Mengapa engkau kembali kemari padahal kami tidak mengirim seseorang untuk mengawasi gerak-gerikmu? Apa yang membuatmu ingin kembali?”. Pemuda itu pun menjawab “Agar aku dapat menunjukan, bahwa seorang muslim itu adalah orang yang menepati janji”. Lalu Umar bin Khatab ra bertanya kepada Abu Dzar ra “Lalu apa yang membuatmu mau menjamin pemuda ini?”. Abu Dzar ra pun menjawab “Agar aku dapat menunjukan, bahwa setiap muslim itu adalah bersaudara dan senantiasa saling tolong menolong”.

Tiba-tiba, kedua anak dari pria pemilik kebun itu pun meminta kepada Umar bin Khatab ra untuk membatalkan sanksi dari pemuda itu. Semua orang yang menyaksikan itu pun terheran-heran, termasuk Khalifah Umar bin Khatab ra, sehingga beliau bertanya kepada kedua anak itu “Kenapa kalian membatalkan sanksi untuk pemuda ini?”. Salah seorang dari anak itu menjawab “Agar kami dapat menunjukan, bahwa muslim itu adalah pemaaf dan saling memaafkan”.

Ini bukanlah dongeng sebelum tidur atau sekedar legenda untuk pendidikan karakter anak-anak saja. Tapi ini adalah salah satu bukti bagaimana ketika Islam hadir mengatur kehidupan masyarakat, bukan hanya hadir sebagai agama ritual setiap individu saja. Sekaligus menjadi contoh konsep penjaminan dalam Islam, dimana ada 3 syarat dalam akad penjaminan : 1. Penjamin, 2. Orang yang dijamin, 3. Hal yang dijamin (bisa berupa jasa atau barang).

Salah satu contohnya lagi adalah hadist riwayat Bukhari yang cukup panjang, dimana salah satu penggalan artinya :

Kemudian didatangkanlah jenazah yang ketiga. Orang-orang yang membawanya pun berkata, ‘Shalatilah dia!’ Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia meninggalkan harta peninggalan?’ Mereka pun menjawab, ‘Tidak.’Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia punya hutang?’ Mereka pun menjawab, ‘Ada tiga dinar.’ Beliau pun berkata, ‘Shalatlah kalian kepada sahabat kalian! Kemudian Abu Qatadah pun berkata, ‘Shalatilah dia! Ya Rasulullah! Hutangnya menjadi tanggung jawabku.’ Kemudian beliau pun menshalatinya.” (HR Al-Bukhaari no. 2289)

Terlihat dari sini bahwa Abu Qatadah ra bertindak sebagai penjamin, orang yang meninggal tersebut sebagai orang yang dijamin, dan jaminannya adalah 3 dinar.

Jika kita kaitkan dengan istilah jaminan kesehatan, maka haruslah bermakna bahwa orang yang menjamin akan membayar/melengkapi semua kebutuhan orang yang dijamin hingga orang yang dijamin ini sehat kembali. Artinya, ketika melakukan penjaminan, orang yang menjamin tidak mendapat apa-apa ketika dia memberi jaminan, dan orang yang dijamin tidak memberi apapun kepada orang menjamin, karena semuanya murni tolong-menolong (ta’awun).

Lalu bagaimana dengan konsep BPJS? Siapa yang bertindak sebagai pelaku pemberi jaminan? Apa perusahaan asuransi? Wong uang yang di dapat dari perusahaan adalah sekumpulan uang para peserta asuransi, bukan uang perusahaan itu sendiri kok. Lalu, siapa yang bertindak sebagai yang dijamin? Peserta asuransi? Sedangkan mereka harus membayar premi setiap bulannya, padahal orang yang dijamin itu haruslah tidak memberi apa-apa kepada yang menjamin, karena dia akan benar-benar ditolong oleh penjamin. Lalu yang ketiga, apa yang dijamin? Barang atau jasa? Bukanlah keduanya, melainkan janji. Janji akan dipenuhi kebutuhan agar dia sehat kembali. Pertanyaannya, kapan peserta asuransi itu sakit? Nah, disinilah ada unsur gharar (ketidakpastian, uncertainty) sehingga menyebabkan akad asuransi itu bathil. Tidak waktu pasti yang ditentukan sehingga peserta dapat merasakan manfaatnya. Bayarnya pasti, manfaatnya tidak pasti. Dapat disebut adilkah yang seperti itu?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline