Lihat ke Halaman Asli

Mahendra Dilegant

Cerpenis, Catatan Perjalanan dan Filosofis Esai.

Santri, Madinah dan Keripik Singkong Emak

Diperbarui: 5 April 2022   17:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Di tengah padang tandus, bus merah yang ditumpangi anak-anak Melayu itu melaju dengan sempoyongan. Rahman, anak berumur 17 tahun yang selalu mengenakan peci itu tiba-tiba berdiri di tengah-tengah penumpang. 

"Jarak kita dengan Madinah tinggal lima belas menit lagi. Mari kita berdo'a, memperkuat niat untuk menuntut ilmu di Universitas Islam Madinah ini. Jangan lupa kita kirimkan al fatihah untuk ulama-ulama terdahulu, untuk zu'ama yang amanah dan teguh menegakkan agama Allah ini, untuk cendekiawan-cendekiawan muslim yang telah berjasa mengangkat nama Islam, untuk guru-guru kita di Indonesia... Al fatihah..."

Rahman duduk kembali, dilihatnya tas besar miliknya yang berisikan masakan-masakan emaknya di kampung, juga beberapa perbekalan seperti balsem, mie instan, sambal terasi hingga keripik singkong. 

Semua orang nampak mulai membuka hp-nya, mungkin ingin mengabari orang tua-nya tentang perjalanan dua hari mereka untuk sampai di Madinah, saat itu bulan Oktober tahun 2004, dimana beasiswa ke Madinah dibuka untuk yang ke dua kalinya. Angkatan ini juga berangkat bersama angkatan satu yang gagal diberangkatkan tahun lalu karena masalah di kantor imigrasi. 

Rahman tak memiliki Handpone, ia hanya sesekali membuka beberapa lembar kertas yang dituliskan emak kepadanya, juga ada surat-surat dari teman sekamarnya, dari ustadz-ustadz-nya dan tentu saja dari ustadz Hambali, guru Hadits yang dikaguminya. 

Ia tak menyangka sama sekali dalam lima belas menit ini ia bakal sampai di Madinah. Setidaknya ia dulu di pesantren memang dikenal sebagai seorang santri yang rajin ke Masjid. Motivasi dari ustadz Hambali telah mengantarkannya menjadi santri termuda yang menghatam dan menghafal kitab Bulughul Maram dan Umdatul Ahkam di usianya yang ke 16 tahun. 

Ia juga ditunjuk oleh kyai-nya untuk mengikuti lomba fahmil dan hadits di kedutaan Saudi Arabiah, dari sinilah, seorang anak penjual keripik singkong ini mendapatkan tawaran untuk belajar ke Universitas Islam Madinah jurusan Hadits. Rahman juga mendapatkan uang saku yang ia gunakan untuk membayar tunggakan bulanannya di Pesantren.

Rahman bangkit sekali lagi di tengah penumpang bus ini. Ini menyerukan dengan lantang. "Mari kita bershalawat Tala 'al-Badru' Alayna, shalawat ini digemakan oleh saudara Anshar (orang asli Madinah) untuk menyambut nabi dan saudara Muhajirin (orang Makkah). Kita sudah disambut oleh Allah SWT untuk belajar ke Madinah... Mari semua..."

Dengan dipimpin oleh gema shalawat, bus merah itu memasuki kota Madinah ini, menuju ke asrama Universitas Islam Madinah. tentu saja di tengah semuanya, Rahman tak henti-hentinya berdoa di dalam hati, bergumam tentang cerita-cerita ustadz Hambali bahwa semua ahli Hadits pasti singgah di kota Madinah ini, dan kota ini hanya memanggil siapapun yang dikehendakinya dan tentu saja, Rahman merasa bahwa ia adalah salah satunya. Ia adalah orang yang paling bersyukur atas apa yang sudah Allah berikan di bulan oktober ini, di bulan yang tepat setelah dua tahun meninggalnya ayah yang dicintainya

Istanbul, 5 April 2022

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline