Lihat ke Halaman Asli

Pohon Kata

Going where the wind blows

Namaku Damar Nusantara

Diperbarui: 23 Maret 2020   14:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Damar

Kakiku masih kuayun diatas kerikil dan bebatuan pegunungan ini. Sepatu boot setia menyelimuti tapak kaki.
Gerimis masih saja enggan untuk reda.
Tas carier yang sedari tadi kugendong, perlahan berat terasa.

Namaku Damar Nusantara...


Namaku Damar Nusantara
Seseorang yang masih mendiami bumi, menghirup udaranya dan menunggu terbitnya sang mentari.
Aku masih saja mengembara, mencari sesuatu dan memberi sedikit kepada bumiku.


Ayahku pernah berkata, "Arungilah dunia ini nak, berikan sesuatu kepada sesama. Carilah jati dirimu."
"Namamu Damar Nusantara, yang kelak sinarilah sekitarmu seperti damar yang meski kecil sinarnya akan tetapi tetap menerangi dikala gelap."

Sedangkan Ibuku pernah berujar, " Merelakanmu mengembara adalah keputusan tersulit buat ibu nak, tapi demi kehidupanmu kelak, ibu akan menunggumu hingga kau kembali. Doaku senantiasa mengiringi perjalananmu hingga kau kupeluk lagi...disini, dirumah kita ini. Jaga diri baik-baik".

Maka...perjalananpun ku mulai...

Aku terengah, masih di kala gerimis sore itu. Disela-sela pepohonan menuju puncak Lawu via Cemorosewu. Jalanan setapak jalur pendakian perlahan teraliri air yang makin lama makin deras mengalir. Hingga memaksaku untuk berhenti, berteduh diantara dahan pohon sore itu.
Gelegar petir bersahutan silih berganti, pohon dan ranting menggoyang dedaunan. Layaknya penari yang diiringi musik alam melambai, bergoyang seiring angin pegunungan yang menderu.

Tak kehilangan kesadaran, perlahan kubuka tas carier yang sedari tadi teronggok di batang pohon pinus. Kubuka dan kuambil tenda untuk membuat bivak. Basah kuyup badan tak membuatku berhenti untuk berupaya mendirikan tempat peraduan malam ini.

Bivakpun sudah terpasang, tinggal membuat perapian untuk menghangatkan badan Ranting pinus yang jatuh, kupungut satu persatu hingga menggunung kecil di depan bivak.


Gerimis reda...
Dengan susah payah kubuat api hingga ranting-ranting perlahan mulai mengeluarkan suara menggeretak diiringi api yang berangsur menyala. Mug kecil berisi air yang kubekal kutaruh diatas panas yang menyala. Sejurus kemudian dengan upaya yang ada tersajilah segelas kopi sebagai penghangat malam itu di pegunungan Lawu.
Sepotong singkong goreng bekalku, kulahap dengan hati-hati sambil menikmati malam penuh kabut saat itu. Nikmat terasa diantara suara binatang malam dan dinginnya Lawu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline