Alunan irama Adzan Isya' nan merdu di surau desa kami, menggema menerobos celah-celah hati dan malam dingin yang tenang. Sebuah desa di hamparan bumi Ibu Pertiwi di tlatah Kediri.
" Pak, ayo berangkat ", sela istri saya memecah keheningan rumah sederhana kami.
" Ayo buk, monggo...anak-anak diajak sekalian ". Kamipun bergegas menghampiri Tikta, Sulthan dan Bintang, ketiga anak kami.
Beranjak dari rumah menuju surau kecil di desa kami, hujan rintik menembus pori-pori kami terasa segar sesegar suasana desa kecil kami.
Tibalah kami di surau, sapa dan senyum terurai disana bersama tetangga yang juga merupakan saudara-saudara kami. Indah nian persaudaraan itu, tanpa topeng dan senyum penghiantan seperti di drama-drama Korea seperti yang di tonton istri saya.Semuanya tulus...
Kamipun menunaikan kewajiban malam itu, bersama memasrahkan diri ke Pencipta kami, Tuhan yang telah memberikan nikmat yang tiada tara, Tuhan yang masih memberikan kesempatan kepada kami untuk menghirup udara pagi, melihat indahnya sang mentari dan masih memberikan kesempatan untuk menebar kebaikan disegala kekurangan yang ada yang kami miliki.
Selepas jama'ah, seperti biasa kami menyempatkan waktu bercengkrama di teras surau.
" Mas, ayo kita marung ke mbok sum, ada hal yang perlu kita diskusikan dengan mas didiek ", kang Paijo mengawali.
" Weleh-weleh, diskusi tentang apa kang? Saya tidak mumpuni kalau sampean ajak diskusi...ilmu saya cetek (dangkal)", saya menggaruk kepala sambil menjawab ajakan kang Paijo.
" Nggak mas, meskipun ilmu kita cetek (dangkal) kita masih punya hak lo mas membahas sesuatu ", kang Paijo menjawab dengan semangat.
" Baiklah kang, mari kita ke warung Mbok Sum, lagian sudah lama saya nggak sowan ke beliau ", timpal saya menanggapi Kang Paijo.