Putaran bianglala sama halnya dengan putaran kehidupan. Kadang di atas, kadang di bawah. Yang membedakannya adalah cepat atau ritme putarannya. Jika Bianglala berputar stabil sesuai dengan kecepatan yang telah ditentukan, tidaklah demikian dengan putaran kehidupan, sesuai dengan usaha/ikhtiar. Masing-masing orang memiliki putaran yang berbeda. Misalnya seorang penjual bakso, jika ia ingin berada di atas, maka ia harus menyajikan bakso dengan cita rasa enak, harga pantas serta rajin untuk selalu jualan. Bagi seorang marketer, semakin banyak produk/jasa yang bisa ia jual, maka komisi yang diterima juga akan semakin banyak.
Jadi siapapun kita, dengan profesi apapun semua memiliki tanggung jawab untuk menjaga eksistensi diri serta eksistensi orang-orang terdekat dan terkasih yang menjadi kewajibannya. Tidak selamanya harus menjadi orang yang hebat dengan pekerjaan yang hebat pula. Banyak pekerjaan di sektor informal lebih menjanjikan keuntungan dan tingkat survival yang tinggi. Yang terpenting adalah bagaimana kita mengelola, melakukan dengan senang dan ikhlas, dan jangan sampai bergaya hidup seperti pepatah "lebih besar pasak daripada tiang".
Dinikmati setiap prosesnya. Setiap putaran hidup seseorang mengandung hikmah yang harus dimaknai. Dalam setiap prosesnya ada tujuan yang Tuhan ciptakan untuk kita. Baik itu peristiwa menyenangkan atau menyedihkan. Pasti menurut Tuhan setiap peristiwa itu pas, sesuai dengan kita baik waktu dan tempatnya. Tuhan tidak pernah salah. "God create us with purpose".
Yang menjadi penting adalah kita harus yakin bahwa Tuhan sangat baik. Kita masih diberi kesempatan untuk membuka mata dari tidur lelap, bertemu dengan senyum orang-orang terkasih di dekat kita, menghirup udara yang tersedia bebas, menggerakkan tangan dan kaki, dan masih banyak nikmat Tuhan yang diberikan dan seringkali kita lupa bahwa tanpa kebaikan Tuhan kita tidak dapat mendapatkan itu semua.
Menggerutu, merasa tidak puas, was-was itulah yang sering kita kerjakan. Sedikit kita mendapat ujian, seperti layaknya orang paling menderita di dunia. Merasa di bawah, sedang sial, terpuruk dan perasaan-perasaan yang mencerminkan rasa sedang tidak beruntung lainnya. Namun ketika kita sedang berjaya, sedang dalam masa keemasan, seringkali lupa dengan Tuhan yang menyebabkan itu semua. Sombong, takabur, merasa lebih dari yang lainnya.
Seharusnya dalam menikmati hidup sama dengan ketika kita naik bianglala. Ketika berada di bawah, kita tenang, nyaman tidak takut jika akan jatuh. Dalam hidup juga harus demikian. Ketika berada di bawah, harus tetap dijalani dengan rasa syukur masih diberi nikmat hidup. Sedangkan jika kita diberi kesempatan untuk berada di atas, harus tetap dijalani dengan hati-hati, tetap tunduk dan patuh sesuai dengan aturan Tuhan. Hal ini sama halnya dengan ketika kita naik bianglala ketika berada di posisi atas, perasaan takut, jika kemungkinan bisa jatuh.
Inilah yang harus kita maknai. Setinggi apapun capaian seseorang, masih ada yang lebih tinggi yaitu kuasa Tuhan. Manusia hanya hamba. Sombong, merasa hebat, dan perasaan wah lainnya adalah bukan tempatnya. Manusia tempatnya salah. Benar jika ada istilah "ilmu padi". Sudah sepantasnyalah jika kita semakin menunduk dengan semakin banyaknya ilmu dan capaian yang kita peroleh. Seperti menikmati hidup sama halnya dengan ketika kita naik bianglala.
Doa yang terpanjat,"ya Allah, bantulah kami untuk selalu istiqomah ada dijalanmu, selalu menempatkan diri-Mu dalam hati kami sebagai yang terkasih, dan mencintai-Mu lebih dari apapun yang Engkau titipkan kepada kami". AMIN.
Farika, yang terus berjuang untuk mendapatkan cinta-Mu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H