Lihat ke Halaman Asli

Kosmetika Demokrasi

Diperbarui: 24 Juni 2015   15:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kosmetika Demokrasi

Oleh Dirga Maulana

Melihat Fenomena politik kontemporer di Indonesia semakin jauh dari harapan. Kita bisa menyaksikan gelegat partai politik yang diharapkan mampu melaksanakan demokrasi di internal partai namun pada tindakan praksisnya partai politik di Indonesia menafikan demokrasi. Tentu, demokrasi menuntut kedewasaan aktor politik dalam bertindak. Demokrasi selalu mengikutsertakan publik sebagai orang yang sadar politik. Demokrasi berjalan dengan baik ditandai adanya kesamaan hukum, serta partisipasi warga dalam politik.

Banyaknya kasus yang kini terungkap di media massa merupakan beban dari demokrasi prosedural yang kita anut. Terjebak pada rutinitas 5 tahunan untuk menentukan pemimpin bangsa, namun tidak dibarengi dengan peningkatan mutu kualitas kader di internal partai. Tak heran jika banyak kader partai politik yang tersandung masalah hukum dan terjerat kasus korupsi.

Kita bisa masuk dalam konteks perang elit Partai Demokrat yang kini menjadi perbincangan hangat di media massa. Turbulensi yang menghantam Partai bergambar Bintang Mercy tersebut, akibat hasil survey yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang merilis rendahnya elektabilitas Partai Demokrat. Sehingga, tak disangka hasil riset ini membuka perang terbuka antara kubu SBY dengan kubu Ketua Umum Anas Urbaningrum. Ini juga yang menyebabkan SBY turun dari singgasana ke Presidenan hanya untuk membenahi masalah internal partainya, bisa kita katakan bahwa kedewasaan politik belum hadir di tubuh internal Partai Demokrat, yang meminta Dewan Pembina mengurusi Partai tersebut. Tentu konsentrasi SBY selaku kepala negara dan pemerintahan menjadi terpecah belah akibat rongrongan dari elit Demokrat, yang kemudian mendapat kecaman masyarakat.

Kita tidak bisa mungkiri di tahun politik banyak kejutan dan skenario besar yang dibangun elit-elit partai politik untuk menyerang rival politik dan melakukan pencitraan dengan dramaturgi politik untuk merebut hati pemilih di tahun 2014. Maka makna politik semakin kabur dengan menguatnya demokrasi prosedural sebagai kendali dari mutu demokrasi di Indonesia.

Demokrasi Prosedural

Dalam demokrasi prosedural kita hanya terjebak pada rutinitas 5 tahunan untuk memeriahkan pesta demokrasi. Kerja politik yang melibatkan aktor politik baru akan dimulai ketika menjelang pemilu. Mereka berlomba-lomba merebut hati masyarakat dengan memasang banyak baliho besar, spanduk, stiker dan tak jarang beriklan di televisi, kemudian melakukan propaganda sosial di media jejaring internet baik di facebook maupun di twitter. Tentu, permasalahan yang muncul adalah persoalan-persoalan yang instrumentalistik, seperti Daftar Pemilih Tetap, penentuan calon legislatif dll. Minimnya pemberdayaan politik warga menggambarkan sebuah dinamika politik yang belum dewasa.

Memang dalam demokrasi prosedural biaya politik yang dikeluarkan sangat besar. Logika yang digunakan kerapkali mencerminkan mencari keuntungan dalam jabatan-jabatan strategis untuk mengembalikan uang yang telah digunakan selama kampanye. Mahalnya ongkos politik itu menyebabkan banyaknya kasus korupsi yang menjerat para pemimpin partai. Karena logika yang dibangun adalah bagaimana bisa mengembalikan modal selama kampanye. Dalam hal ini sesuai dengan apa yang diistilahkan oleh Olle Tornquist akan munculnya “demokrasi kaum penjahat” di Indonesia. Demokrasi akan terjadi secara formal, tetapi tidak diiringi oleh partisipasi rakyat yang sungguh-sungguh dalam pemilu. Munculnya elaborasi kekuatan elit antara militer dengan pengusaha yang kemudian mengkooptasi pemilih. Tak hanya itu “demokrasi kaum penjahat” terlihat dalam berbagai kasus korupsi yang muncul di lingkaran partai politik dan elit politik. Permainan ini tidak hanya berhenti sampai di situ, mereka para pemimpin memaksimalkan permainan mereka untuk menyongsong pemilihan umum selanjutnya dengan dana-dana yang terkumpul dari hasil mengeruk uang rakyat.

Nah, rendahnya kepercayaan publik terhadap wakil mereka di pemerintahan seharusnya menjadi bahan evaluasi partai politik untuk memperbaiki kinerjanya selama ini. Dalam demokrasi prosedural dituntut pula adanya partisipasi publik di dalam proses berdemokrasi. Karena demokrasi yang baik itu tidak hanya berkaitan dengan prosedur dan isi, melainkan juga berkaitan dengan hasil dari prosedur dan isi di dalam demokrasi itu. Maka perlunya demokrasi substantif dalam menjamin mutu demokrasi di Indonesia.

Demokrasi Substansial

Jika kita menganut sistem demokrasi substantif maka prosesnya tidak akan menafikan politik warga. Oleh karena itu partisipasi warga atau partisipasi publik sangat berperan penting dalam membangun demokrasi substantif. Hal ini juga telah diungkapkan oleh Nancy Robert bahwa partisipasi publik merupakan aspek yang sangat penting dalam demokrasi. Walaupun terlihat adanya gejala ambivalensi di satu sisi partisipasi publik memiliki sifat ideal dalam pemerintahan. Di sisi yang lain, partisipasi publik menimbulkan sikap skeptis dan kekhawatiran.

Namun partisipasi publik dilihat Hannah Arendt sebagai kesadaran masyarakat terhadap politik. Karena konsep politik Arendt pada pemahaman bahwa manusia selalu mengandaikan kehadiran orang lain. Konsepsi politik Arendt bisa ditafsirkan sebagai kesadaran politik warga atas proses demokrasi. Titik tekan Arendt adalah warga yang sadar akan politik.

Modal kesadaran warga tentu menjadi penentu bagi kelangsungan hidup berdemokrasi. Tetapi demokrasi yang kita saksikan di Indonesia saat ini, telah menjadi alat bagi orang-orang yang memiliki modal besar atau memiliki kepopuleran untuk mendulang kekuasaan dan keuntungan pribadi. Tidak lagi berbicara atau bertindak atas kepentingan bersama. Mereka kini berbicara dan bertindak atas kehendak untuk berkuasa dan meraup sebesar-besarnya keuntungan ekonomi.

Jika itu terjadi secara terus menerus maka tak ayal “kosmetika demokrasi” akan menciptakan ruangnya sendiri. Politik hanya dianggap sebagai merebut dan mempertahankan kekuasaan. Kemudian panggung pencitraan aktor semakin dominan dan mengesampingkan atau memarjinalkan pemilih.  Bagi Alian Badiou politik sebenarnya harus melakukan inovasi baru untuk menciptakan “being” dan “event”, maksudnya apa yang dilakukan itu membentuk perubahan transformatif dari yang prosedural menuju substansial. Aktor politik menjadi pemeran utama dalam perubahan sosial yang melingkupi terjadinya proses transformasi politik tersebut.

Kemudian demokrasi substantif sangat membutuhkan manusia politik yang keluar dari belenggu kehidupan naturalistiknya. Manusia politik dituntut melakukan tindakan secara otentik, spontan dan otonom. Manusia politik tidak lain adalah manusia tindakan (man of action) dengan merujuk pada individu-individu yang unik serta terbebas dari dominasi siapa pun.

Kita berharap akan terjadinya perbuahan transformatif di tahun politik menjelang pemilu eksekutif maupun legislatif pada 2014 yang memperlihatkan kedewasaan berdemokrasi untuk menciptakan mutu demokrasi di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline