Lihat ke Halaman Asli

Perspektif Komunikasi Politik

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1384056528423771427

Membangun konsolidasi demokrasi menjadi poin utama untuk mewujudkan cita-cita demokrasi substansial. Walaupun, hingga kini masih banyak kekurangan yang dihadapi dalam tataran praksis seperti lemahnya penegakan hukum, aktor politik yang tidak memiliki kapasitas mumpuni, hingga khalayak politik yang semakin hari semakin apolitis.

Kehadiran buku Komunikasi Politik dan Politik Komunikasi yang ditulis Deddy Mulyana menjadi penting hadir di tengah ”kegalauan” bangsa yang menginginkan pemimpin transformatif. Buku ini mencoba melihat komunikasi politik sebagai tujuan pengirimnya untuk memengaruhi lingkungan politik serta pemanfaatan komunikasi sebagai tindakan politik aktor. Dua hal yang sejatinya berklindan dan tak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Deddy dalam bukunya menyebutkan, terjadi anomali politik yang dilakukan banyak aktor politik misalnya banyak kasus korupsi yang menerpa pejabat publik akibat menerapkan ”politik kuasa”, gemar keliling dunia dengan menggunakan uang rakyat atas dalih studi banding. Munculnya kekuatan politik dinasti yang secara turunmenurun mewariskan kekuasaan pada anak atau istrinya. Politisi kader bisa dikalahkan oleh politisi wakil ”artis” yang menjadi pendatang baru untuk mendongkrak popularitas partai. Tidak hanya itu, anomali juga berlangsung dalam konteks kampanye politik dan pemilu. Kampanye dan pemilu politik di Indonesia terus diwarnai jual beli suara dan kekerasan. Dalam perjalanannya kajian komunikasi politik selalu menggunakan perspektif linier, biasanya pendekatan ini berorientasi pada efek dan pesan politik harus sampai ke khalayak politik. Kemudian pendekatan ini juga memandang realitas komunikasi politik secara teratur, mudah diramalkan, dan ditandai dengan hubungan sebab-akibat. Seperti adagium terkenal dari Harold Lasswell: who says what in which channel to whom with what effect. Warna baru dari buku ini pendekatannya yang lebih cair karena memosisikan komunikasi politik dalam konteks sosial di mana manusia hidup secara dinamis dan terus bertumbuh menjadi ”manusia politik”. Penulis buku ini mencoba menggunakan perspektif interpretatif dan transaksional. Komunikasi politik dipahami sebagai pertukaran makna di antara dua pihak atau lebih yang berkaitan dengan distribusi dan pengelolaan kekuasaan. Ada empat bab yang menjadi pembahasan dalam buku ini. Pertama, buku ini melihat ada anomali politik yang dilakukan aktor politik. Ini terkait masalah bahasa politik. Sebagaimana diketahui, bahasa politik kerap digunakan sebagai alat untuk berpihak dan karenanya penggunaan bahasa sarat dengan kepentingan dan tak pernah netral. Misalnya penggunaan bahasa di media massa baik cetak maupun elektronik yang kini sudah menjadi bagian pemenangan kekuatan tertentu. Kedua, membahas komunikasi legislatif, yang merupakan salah satu representasi kekuasaan suprastruktur yang semestinya mampu berdialog dengan rakyat. Dialog merupakan inti komunikasi manusia karena dialog merupakan hubungan antara manusia dan manusia. Dengan kata lain, legislatif harus mampu berdialog dengan rakyat untuk menciptakan kesadaran bersama tentang hak politik warga. Ketika legislatif berdialog dengan warga, mereka tidak lagi dijadikan sebagai ”konstituen pasif”, tapi ”konstituen aktif”. Ketiga, komunikasi eksekutif membahas masalah minimnya pemimpin Indonesia yang komunikatif. Sesungguhnya seorang pemimpin, apalagi seorang presiden, haruslah mampu membangun sistem komunikasi dengan rakyatnya. Kita tentu ingat, bagaimana seorang presiden menanggapi kerbau ”SiBuYa” ketika dibawa oleh demonstran untuk menuntut ketegasan SBY selaku presiden dalam menangani kasus-kasus bangsa. SBY pun terjebak menanggapi soal kerbau ”SiBuYa” itu daripada persoalan bangsa. Komunikasi SBY pun dinilai sangat tidak strategis karena tidak mampu memisahkan antara isu publik dan isu privat. Keempat, pelajaran dari luar negeri. Ketika kita berbicara demokrasi pasti kita berkiblat ke Amerika. Kita menggambarkan demokrasi Amerika sebagai negara demokratis yang representatif. Kita merujuk, bahkan kita mengidealkan demokrasi itu seperti Amerika. Buku ini mengambil contoh pertarungan antara Obama dan Hillary Clinton yang mana Obama selalu menang berturut-turut dalam pemilihan Partai Demokrat. Kekalahan Hillary juga disebabkan oleh faktor bahwa dia seorang perempuan. Dalam sejarah politik Amerika belum pernah ada presiden AS yang berjenis kelamin perempuan. Berbeda dengan Indonesia, kita pernah memiliki presiden perempuan yakni Megawati Soekarnoputri. Di AS masih saja mempermasalahkan keterpilihan perempuan untuk menjadi pemimpin rakyatnya. Budaya ”partiarki” pun masih kental di AS. Jelas bahwa perjalanan demokrasi kita masih panjang untuk menjadi negara seperti AS. Dengan buku ini, kita terbantu memahami kompleksitas-dinamis komunikasi politik di Indonesia. Buku ini menjadi artefak penting dalam ranah kajian komunikasi politik. Tawaran perspektif interpretatifnya menjadikan buku ini menarik dan ”renyah” saat dibaca serta didalami baik oleh akademisi, praktisi politik, jurnalis, hingga masyarakat umum. Terutama bagi mereka yang tertarik mengamati ranah kajian komunikasi politik yang senantiasa dinamis._ Dirga Maulana, peneliti di The Political Literacy Institute dan aktif di Forum Studi Media (FSM)

Telah dimuat di Koran SINDO, Minggu 10 November 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline