Lihat ke Halaman Asli

Ambivalensi Demokrasi

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ambivalensi Demokrasi

Oleh Dirga Maulana**

Setelah lama mengalami otoritarianisme Orde Baru selama 32 tahun, era dimana pemerintah menciptakan pemilu demokratis semu. Pada saat itu juga semakin kuatnya cengkraman tirani politik totalitarian ataupun hegemoni totalitas sosiokultural yang dialami kehidupan politik di Indonesia.

Kita semua mafhum 15 tahun reformasi dilalui dengan kecemasan ketidakpastian negara terhadap hukum. Munculnya euforia kebebasan pers yang kerapkali membingungkan publik dengan pemberitaan yang tidak berimbang. Media massa terutama televisi menjadi “corong” politik pemiliknya untuk mendongkrak elektabilitas partai dan popularitas calon. Tidak berhenti di situ, demokrasi yang menuntut adanya partai politik sebagai saluran warga terhadap aktifitas politik tidak dikelola dengan baik.

Partai politik minim ideologi, bahkan cibiran terhadap partai politik sebagai tempat bersembunyinya para “penyamun” atau boleh dikata “kaum penjahat”. Mereka menunggangi partai politik untuk merampok APBN sebagai kendaraannya. Tak elak, banyak aktor politik yang masuk “bui” akibat terindikasi korupsi. Menjelang Pemilu banyak partai yang tidak sadar diri untuk berbenah secara internal, tujuannya jelas untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat saat pemilu.

Karena partisipasi dalam pemilihan umum (voter turnout) adalah salah satu bentuk dari partisipasi politik, dan merupakan bentuk partisipasi yang paling elementer dalam demokrasi. Hal ini berkaitan dengan budaya politik yang dibangun oleh partai politik menjelang pemilu.

Budaya Politik

Kita menganut demokrasi perwakilan (representative democracy), suara rakyat banyak diwakilkan di DPR maupun MPR untuk menyuarakan aspirasinya. Hal ini merupakan keniscayaan yang tidak bisa dielakkan sebagai negara modern. Ironisnya, sistem keterwakilan ini tidak dibarengi dengan kinerja aktor politik yang serius sehingga menimbulkan kepercayaan publik (public trust) yang menurun terhadap wakil rakyat.

Demokrasi perwakilan yang dibangun pascaruntuhnya rezim Orde Baru dianggap tidak mampu meningkatkan kualitas demokrasi secara substansial. Para wakil rakyat, setelah terpilih berjalan dengan agendanya sendiri-sendiri. Implikasinya, terdapat disconnect electoral antara para pemilih dan yang dipilih.

Kita bisa melihat perbandingan partisipasi pemilih pada pemilu tahun 1999 sampai pemilu 2009. Pada tahun 1999 partisipasi pemilih yang terdaftar 117.815.053 orang, suara sahnya 105.786.661, kemudian tidak hadir 12.028.392, angka Golput berjumlah 12.028.392. Pada tahun 2004 jumlah pemilih terdaftar 148.000.369., suara sahnya 113.462.414, tidak hadir 23.580.030, angka Golput 34.537.995. Sedangkan pada tahun 2009 jumlah pemilih terdaftar 171.265.443, suara sahnya 104.699.785, tidak hadir 46.677.079, Golput 67.165.657. (Kacung Marijan: 126)

Dari data tersebut kita bisa baca ada kecenderungan peningkatan jumlah Golput yang sangat signifikan dalam periodesasi 5 tahunan partisipasi politik masyarakat dalam pemilu. Tentu hal ini sangat erat kaitannya dengan budaya politik yang dibangun. Gabriel Almond dan Sydney Verba (1963) mengatakan bahwa budaya politik kewarganegaraan sangat cocok bagi bangunan negara demokrasi. Bisa dibilang budaya politik menentukan partisipasi politik. Muncul pertanyaan, bagaimana budaya politik menjelang pemilu 2014?

Budaya politik yang dibangun partai politik saat ini cenderung menggunakan pendekatan pragmatis. Seperti yang disebut Donal Fariz “Pemilu Wani Piro” menjadi sangat relevan keberadaannya ketika hasil survey yang dilakukan Polling Center menunjukkan bahwa lebih dari separuh (52,1 persen) pemilih akan menerima uang dan barang dari kandidat dalam pemilihan umum (Kompas, 23/1/2014). Contohnya,  memberikan sebungkus “mie instan” atau uang sebesar 100 ribu rupiah menjadi pendekatan yang banyak dilakukan oleh politisi. Mencari dukungan konstituen, politisi rela melakukan “money politic” dengan berbagai cara.

Mereka tidak melakukan debat-rasional secara terbuka dengan masyarakat di balai-balai pertemuan warga. Tapi malah mengotori ruang publik dengan spanduk yang bertebaran di jalan-jalan. Parahnya lagi, kondisi bencana dijadikan ajang untuk merebut hati konstituen dengan memasang atribut partai di posko-posko bencana. Dicatat juga dalam tulisan Donal Fariz bahwa ada semacam pergeseran pemberian “money politic” dari pemilih bergeser kepada oknum penyelenggara pemilu (Kompas, 23/1/2014).

Pergeseran ini juga mesti diwaspadai oleh penyelenggara pemilu dan kontrol dari masyarakat luas. Hal ini acap kali terjadi di tingkat Kecamatan. Modusnya, kandidat bermain curang dengan oknum Panitia Pemungutan Suara (PPS), sehingga hasil penghitungan awal di TPS tidak sinkron dengan data hasil akhir karena ada penggelembungan jumlah suara.

Jika kecurangan itu dibiarkan maka proses demokrasi menjadi ruang hampa tanpa makna. Tergerus oleh keserakahan elit untuk berkuasa. Ruang negosiasi rakyat nyatanya telah diambil alih oleh elit politik. Apa yang disebut oleh Radhar Panca Dahana bahwa rakyat hanya tukang stempel yang diombang-ambing oleh permainan pencitraan, ideologi semu, harapan kosong (Kompas, 23/1/2014) akibatnya, demokrasi yang kita pahami sebagai gejala ambivalensi yang menyebabkan demokrasi jauh panggang dari api.

Ambivalensi demokrasi disebabkan keadaan yang bertentangan antara harapan dengan realitas yang terjadi. Harapannya demokrasi bisa memberikan kesejahteraan rakyat, politisi bekerja untuk rakyat, kemudian adanya partai politik sebagai saluran artikulatif politik warga. Namun, gagasan demokrasi yang menyejejahterakan rakyat tidak mampu turun dan dirasakan oleh masyarakat banyak. Konsekuensinya banyak kalangan masyarakat yang apolitis terhadap politik.

Ruang Paradoks

Apolitis masyarakat pada politik sangat mengkhawatirkan. Kelas menengah kita acuh-tak acuh terhadap politik karena rayuan gombal industri kapitalisme. Mereka asik dengan dunia yang “luxuries” disertai barang-barang yang hilang “nilai guna”-nya (use value). Fait accompli masyarakat saat ini terjebak pada arus kapitalisme.

Kita tidak pernah tau elit politik membawa kita ke arah mana, tujuannya seperti apa. Seperti kita dibawa ke alam hutan rimba yang tidak mengenal hukum. Masyarakat dibiarkan dengan hukumnya sendiri, hukum yang ada pun menindas kalangan bawah dan tumpul ke atas. Ini sesuai dengan keadaan yang digambarkan Radhar Panca Dahana yang disebut “demokrasi kusir delman” yang selalu gelap identitasnya (Kompas, 23/1/2014).

Keadaan ini diperparah dengan lobi-lobi politik menjelang pemilu maupun sesudah pemilu nanti dengan menafikan “kuasa rakyat” sebagai konstituen. Pun demikian kuasa rakyat sebatas pada pemilu di bilik suara, yang menentukan dipilih atau tidak dipilihnya penguasa. Tetapi siapa yang mengontrol legislatif? Tidak ada, kecuali media massa, kelompok kepentingan atau civil society. Kekuatan kontrolnya pun lebih bersifat moral, dalam arti kontrolnya tidak punya implikasi politik sistemik secara langsung. Kritiknya tidak bisa menjatuhkan penguasa tersebut, melainkan hanya menciptakan persepsi negatif terhadapnya.

Dengan demikian masyarakat harus memiliki daya “anangke” perjuangan secara sadar untuk bisa bertahan di tengah demokrasi yang amburadul.

Penulis adalah Peneliti The Political Literacy Institute dan aktif di Forum Studi Media (FSM)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline