Ketua DPD RI LaNyalla tiba tiba menyebut kata Revolusi Sosial. Tentu bukan sembarang pasal jika tiba tiba Senator asal Jawa Timur itu berkata demikian. Sebab dalam beberapa hari terakhir, diskursus politik kita dihebohkan dengan pernyataan Muhaimin Iskandar (Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa) dan Zulkifli Hasan (Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional) yang saling satu suara mengusulkan agar pelaksanaan Pemilu yang direncanakan akan berlansung pada 2024 mendatang sebaiknya diundur.
Cak Imin dan Zulhas bukanlah tokoh awal yang mengusulkan agar pelaksanaan pesta demokrasi lima tahunan itu diundur. Pernyataan ini pertama kali disampaikan oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia pada awal Januari silam. Bahlil beralasan, usulan itu disampaikan sebelumnya ia melakukan diskusi dengan para pengusaha. Para pelaku bisnis tanah air itu, menurut Bahlil ingin Pilpres diundur karena mereka melihat saat ini perekonomian nasional sedang dalam masa pemulihan.
Usulan ini sempat menuai protes keras, namun reda karena mungkin rakyat juga lagi sibuk dengan berbagai trending topic di sosial media jadi tidak begitu menjadi perhatian dan pembahasan. Alhasil, usulan Bahlil tidak begitu bergema dan menjadi perhatian.
Kini, sejak tiga hari terakhir, usulan itu kembali muncul dan bahkan menjadi pembicaraan serius dikalangan aktifis pegerakan politik dan demokrasi. Penyebabnya menurut saya adalah karena yang mengusulkan adalah dua orang ketua umum partai politik. Cak Imin (Muhaimin Iskandar) dan Zulhas (Zulkifli Hasan). Selain sebagai Ketum Parpol, keduanya juga menduduki jabatan mentereng di pemerintahan. Cak Imin Wakil Ketua DPR RI sementara Zulhas menjabat sebagai Wakil Ketua MPR.
Usulan kedua tokoh ini pendukung pemerintah bak gayung bersambut. Partai Golkar yang juga pemegang saham di pemerintahan juga disebut sebut mendukung wacana penundaan pelaksanaan Pemilu. Jika dihitung secara matematika, maka kursi ketiga partai politik itu cukup kuat untuk mengusulkan agar pelaksanaan Pemilu diundur dan bisa saja ide yang menentang konstitusi ini bisa menjadi bola salju yang mengubah arah perjalanan bangsa Indonesia dikemudian hari.
Kembali ke sikap penolakan Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattaliti. Kegeraman dan kekesalan LaNyalla yang bahkan sampai menyampaikan kekhawatirannya bahwa jika ide ide yang semestinya ini diteruskan dan direalisasikan, bukan tidak mungkin kemarahan rakyat yang sudah lama terpendam akan terakumulasi sehingga menimbulkan kegaduhan politik yang justru berakibat fatal bagi Bangsa Indonesia.
Kekhawatiran LaNyalla tentu bukan sembarang kekhawatiran. Ia telah berkunjung ke seluruh daerah di Indonesia dalam kapasitasnya sebagai Ketua DPD RI yang memang secara konstitusi diakui sebagai perwakilan daerah. LaNyalla tentu hafal dan tahu betul apa yang dirasakan masyarakat dan daerah. Ia memang bukan anggota DPR RI, namun sebagai representasi daerah di dalam satu kesatuan utuh Majelis Pemusyawaratan Rakyat, DPD memiliki kursi dan kekuatan yang berhak untuk menyampaian pandangan dan bahkan sikap penolakan.
Usulan untuk penundaan Pemilu sah sah saja disampaikan. Bukan hanya oleh Menteri Bahlil, Ketum Cak Imin dan atau Zulhas. Namun sebagaimana dikatakan LaNyalla yang dikutip oleh beberapa mainstream, usulan ini jelas menjerumuskan Presiden Joko Widodo. Usulan ini bahkan sangat tidak rasional dan logis karena wadah Pemilu adalah satu-satunya sarana bagi rakyat untuk melakukan evaluasi atas perjalanan bangsa yang diatur secara ketat dan tegas dalam konstitusi.
Soal LaNyalla sendiri, harus kita akui, sebagai Ketua DPD, ia telah berkampanye untuk menolak pemberlakuan Presidential Threshold 20 persen yang dirasa mencekik demokrasi. Ia kini menjadi satu satunya elit politik dan pimpinan lembaga tinggi negara yang tegas dan keras menolak PT 20 Persen. LaNyalla juga tidak sendiri, dukungan atas gagasan dan idenya terus mengalir bahkan dari berbagai kalangan. Mahasiswa, Elit politik dan akademisi menyampaikan dan menegaskan sikap dukungan.
Jadi, ditengah perjuangannya untuk menolak pemberlakuan PT 20 Persen, justru muncul ide ide yang bertentangan dengan UUD dan parahnya disampaikan oleh Ketua Umum Partai Politik yang memiliki wakil di DPR RI.