Lihat ke Halaman Asli

Gugatan Benci di Alam Gersang

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Disini aku terpaku melihat bintang dan gelapnya malam. Sepi, sunyi dan pikiran melayang sesukanya, tak ada yang mampu mengendalikan isi lamunanku kini. Kenangan –demi kenangan bermunculan bak adegan dalam sebuah film, layar muncul dan kembali redup, bersinar dan tenggelam.Begitu terasa senyap dan hampa setelah lama kita berjalan, mungkin telah jauh meninggalkan apa yang pernah terjadi.

Di kota ini, awal nafasku diberikan dan disini pula ternyata aku harus kembali, setelah sekian lama ingin pergi dalam lingkaran setan budaya, serasa tak tahu apakah arti kesenangan itu, mungkinkah kesenangan itu harus dibayar dengan kebodohan, kedunguan dan budak uang. disinilah aku mengenal kebahagiaan itu.

Kebahagiaan yang kukenal semasa SMP adalah tawuran dan minuman. Serasa eksistensi itu muncul ketika harus menaklukkan SMP lain. mereka orang-orang lemah yang tak mampu mempertahankan dirinya dalam sebuah pergaulan laki-laki sehingga mudah untuk ditaklukkan. Laki-lakinya hanya kumpulan para banci yang enggan untuk menunjukkan adrenalinnya. Berjalan tertunduk takut dan malu karena ketaudiriannya sebagai seorang pecundang!

Melupakan diri adalah bentuk dari rasa jenuh sosial karena tak terima diperlakukan sebagai seorang bocah. Saya manusia yang bisa berfikir, paham mana yang terbaik buat diri ini. Jadi kalian jangan pernah memperlakukanku sebagai seorang bocah, menertawai ketika ingin andil atas masalah para orang tua. Cuih! Benci rasanya! Kalian pikir aku masih ingusan yang tak pernah mampu merawat diri atau kehidupanku tak mampu berdiri hingga harus di papah.

Memberontak dan berbeda dari tatanan sosial hanya itu yang aku lakukan agar mereka mengerti bahwa aku seorang manusia semestinya diperlakukan sebagai manusia bukan seorang bocah. Sensasi dan eksistensi, mungkin hal itu yang bisa dilukiskan untuk menyadari bahwa akulah yang layak untuk diperhatikan, karena memang begitu semestinya.

Semakin lama semakin mengkristal untuk tetap melakukan perlawanan terhadap sosial yang tak pernah adil. Sementara aku tetap melihat orang dewasa tak pernah becus dan “predator”. Sebuah tatanan sosial yang busuk dan kita berjalan dalam tongkat estapet yang semakin lama membawa pada sebuah kehancuran.

Sosial yang busuk itu ketika manusia menjadikan manusia lain lebih rendah dari dirinya. Karena uang memang berkuasa. Kekuasaannya bisa menjadikan seorang tertunduk dan hanya diam, kekuasaannya menjadikan manusia menjadi mesin pembunuh dan kekuasaannya menjadikan manusia pada tata kehidupan yang satu yaitu menjadi budak uang.

Karenanya uang bisa memperlakukan orang bak binatang. Berjalan tertunduk menjalankan sesuatu yang tak pernah disukainya. Lihatlah jajaran para bandit yang dengan tega mengambil hak orang lain. jika dia seorang preman, maka “tugasnyalah” melakukan pemerasan pada para pedagang yang ada disekitarnya atau memalak orang-orang yang kebetulan hilir mudik disekitarnya. Untuk apa mereka? Minuman dan perempuan. Perempuan untuk sebuah kesenangannya, melepaskan naluri kebinatangan dan minuman hanya untuk menakuti para pecundang yang kemudian menjadi sasaran empuk para biadab atau hanya sekedar melepaskan segala beban dengan melupakannya untuk sesaat.

Naluri liar kebinatangan muncul dalam sosok yang mulia, dimana hukum rimba menjadi panutannya. Yang kuat dia pemenangnya. Orang kaya “berhak” menghakimi yang miskin atau para atasan yang gemar mempecundangi bawahannya. Disuruh, melakukan ini dan itu bahkan diluar kewajaran. Ketika tindak kriminal terjadi, maka sudah seharusnyalah para bawahan menerimanya sementara atasannya tetap, tertawa dan bersenang-senang.

Korupsi di negeri ini, ya, siapa yang kemudian masuk bui, meski uangnya dirasakan bersama. Lagi, lagi hanya bawahan yang ditawan, namun hukumnya tak mampu menjangkau atasan yang merasakan keuntungan dari korupsi. Dia kemudian terhimpit dalam kutub besar, negara dan atasannya.

Jauh dari apa yang aku terima pada bangku-bangku sekolah. Rasanya doktrin yang mereka berikan tak pernah sesuai dengan realitas yang aku alami. Jelas, aku menjadi seorang yang tak pernah peduli dengan sekolah, semua mencercaku. Anak yang tak patut untuk diikuti jejaknya karena kerap melawan. Menertawakan para dosen yang membuat topeng-topeng kebaikan namun kelakuannya tak jauh dari kalimat yang diberikannya. Tanggung jawab! Mana, begitukah arti tanggung jawab ketika mereka tanpa memberikan alasan yang jelas tak memberikan mata kuliah di hari ini atau mencari proyek untuk memenuhi kebutuhan hidup tanpa pernah tahu perkembangan anak didiknya. Akal bulus dengan memberikan tugas dan bahan bacaan.

Kini aku hanya menjadi seorang pelarian, mereka menuduhku pemabuk dan pencerca. Sehingga dikepala mereka melabelkanku sebagai pemberontak dan minuman menjadikan manusia sebagai pemberontak! Sungguh tak berdasar! Karena yang kutahu mabuk hanya ingin meninggalkan dunia yang begitu penat, begitu busuk dan tak pernah adil. Seolah aku ingin membenarkan kata-kata Soe Hok Gie dalam buku catatan seorang demonstran. “Manusia yang beruntung adalah yang tak pernah dilahirkan di dunia ini dan manusia yang beruntung adalah manusia yang mati muda!” entah dari mana serasa itu sebagai sebuah pembenar buatku.

Disinilah kini aku menjadi seorang pesakitan. Sebuah kewajaran dan nihilis dunia yang kini aku rasakan. Kebahagiaan saat melakukan pemberontakan sosial yang tak pernah usai membawa ku pada sebuah kegelisahan yang tak pernah ada ujungnya. Mencerca lagi hanya itu yang aku bisa, aku tahu aku tak mampu melawannya.

Mereka (kawan-kawanku) menarik diriku dalam irama “meninggalkan dunia” dalam jejeran botol. Sungguh kini aku tak pernah kuat masuk dalam lingkaran setan itu. dan hari ini, dalam warna langit yang gelap aku terduduk dikursi roda. Aku tahu kerjaku kini menyakiti diri, kadang merasa menyesal karena sulit rasanya menjadi orang yang normal seperti mereka, bahkan diriku pun tak pernah tahu arti kenormalan itu.

Kering rasanya dunia yang kini aku jalani, karena aku tahu, aku tumbuh dan lahir dari sebuah kebencian, dalam hati api kebencian itu tumbuh subur sehingga semuanya layak untuk dibenci. Karena itu yang aku tahu dan begitu sosialku melahirkan diriku.

Dalam keheningan itu patah tumbuh hilang berganti. Lamunan itu tetap sebuah kebencian yang membawaku pada kehidupan penyendiri. Kehidupan dimana aku ingin meninggalkannya, namun karena kekuasaan aku pun terhimpit. Kita hanya bisa memberikan jarak itu semua dan kita berada dalam lingkaran kuasa yang tak pernah tahu dimana posisi kita yang sebenarnya dan disini pula semuanya akan kugoreskan.

Inspiration from people rebbelion




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline