Lihat ke Halaman Asli

Dioufie WardhoPrawiro

Universitas Diponegoro

Menilik Makna Filosofis dalam Tradisi Nyadran Desa Dukuh, Sragen

Diperbarui: 9 Agustus 2023   22:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Tradisi Nyadran merupakan salah satu dari banyaknya tradisi yang dilakukan oleh Masyarakat Suku Jawa, tak terkecuali dalam masyarakat Desa Dukuh Kecamatan Tangen Kabupaten Sragen yang mayoritas berasal dari Suku Jawa. Tradisi Nyadran di Desa Dukuh menjadi salah satu tradisi warisan nenek moyang yang hingga kini masih rutin dilaksanakan. Pelaksanaan tradisi Nyadran di Desa Dukuh digelar setelah masa panen raya. Di mana tidak sembarang hari dapat dipilih sebagai waktu pelaksanaan Nyadran, terdapat 3 hari dengan penanggalan kalender Jawa khusus. Hari tertentu yang dimaksud adalah hari Jumat Pahing, Jumat Pon, dan Senin Kliwon. 

Apabila setelah masa panen raya tidak ditemukan hari-hari tersebut maka upacara Nyadran tidak dilakukan.

Dalam pelaksanaan tradisi Nyadran di Desa Dukuh terdapat beberapa rangkaian acara yang dilakukan sebelum pelaksanaan tradisi Nyadran itu sendiri sebagai acara puncak. Sebelum tradisi Nyadran dilaksanakan, masyarakat melakukan kegiatan ziarah ke makam sanak keluarga dan dilanjutkan dengan kegiatan bersih desa sebelum melaksanakan acara puncak Nyadran.  

Setelah selesai dengan dua rangkaian acara yaitu ziarah kubur dan bersih desa, masyarakat Desa Dukuh bersiap untuk melaksanakan serangkaian acara dalam tradisi Nyadran. Tradisi Nyadran di Desa Dukuh dilaksanakan di rumah warga masing-masing dengan acara doa bersama dan dilanjutkan dengan makan bersama. Setiap rumah akan mengadakan acara Nyadran dengan mengundang tetangga dan sanak saudara lainnya untuk melakukan doa bersama. Acara Nyadran diawali dengan tuan rumah mempersiapkan seperangkat sesaji seperti tumpeng dengan seperangkat lauknya, ayam ingkung, jenang putih, jenang merah, pisang, golong dan sedhah (sirih). 

Kemudian akan diadakan doa bersama untuk memohon perlindungan, rezeki yang melimpah dan ucapan rasa Syukur kepada Allah SWT atas rezeki yang telah diberikan melalui hasil panen masyarakat Desa Dukuh. Doa bersama dipimpin oleh sesepuh desa atau seseorang yang dianggap memiliki ilmu agama lebih tinggi. Doa dalam acara Nyadran dilakukan sesuai dengan syariat agama Islam. Setelah doa bersama selesai dilakukan, acara selanjutnya adalah makan bersama.

Banyak makna filosofis yang terdapat dalam tradisi Nyadran di Desa Dukuh ini, mulai dalam sesaji yang digunakan hingga setiap prosesi acaranya. Dalam sesaji yang digunakan setiap unsurnya memiliki makna yang mendalam. Misalnya dalam seperangkat tumpeng dan ayam ingkung menjadi simbol penghormatan kepada Nabi Muhammad Saw dan pengharapan untuk diberi syafaatnya di hari akhir nanti.

Kemudian jenang putih dan jenang merah memiliki makna sebagai penghormatan dan permohonan kepada orang tua agar mendapatkan keselamatan khususnya Ibu. Jenang putih dimaksudkan sebagai penghormatan dan harapan yang ditujukan kepada orang tua khususnya ayah. Ada juga pisang yang memiliki arti kekayaan serta kemuliaan. Selanjutnya adalah makanan golong yang memiliki makna mempersatukan keyakinan untuk membangun sebuah kerukunan. Dan untuk sedhah sendiri memiliki makna penghormatan kepada ibunda Nabi Muhammad Saw, Siti Aminah, yang telah merawat Nabi Muhammad Saw.

Selain itu makna filosofis juga terdapat dalam setiap rangkaian acara Nyadran. Dari rangkaian ziarah kubur memiliki makna sebagai pengingat bahwa setiap manusia akan menghadapi kematian sehingga dengan pengingat tersebut diharapkan manusia akan selalu berbuat kebaikan. Kemudian pada rangkaian bersih desa memiliki makna dan tujuan untuk menjalin kerukunan pada setiap masyarakat Desa Dukuh.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline