Lihat ke Halaman Asli

Pak Guru, Jangan Sembunyi di Belakang LCD Proyektor Dong!

Diperbarui: 3 Desember 2015   18:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="www.manwonokromobantul.sch.id"][/caption]Alkisah, di suatu SMA Negeri ada seorang orang guru Bahasa Indonesia. Namanya pak Budi. Ia adalah seorang guru muda. Banyak siswa menjadikannya sebagai guru favorit karena selain sifatnya yang ceria, Pak Budi selalu memaafkan teknologi dikelasnya. LCD Proyektor dan sebuah laptop menjadi ‘senjata’nya dikelas. Microsoft PowerPoint adalah program andalannya. Slide presentasinya penuh dengan gambar warna-warni dan animasi ala film Star Wars. Sesekali siswanya disuguhkan video dokumenter yang di downloadnya dari Youtube. Diakhiri pelajaran video tersebut akan dibahas, didiskusikan dan didebatkan oleh siswa secara berkelompok.

"Lebih menarik bagi siswa, dan menghemat waktu. Tidak perlu lagi nyatat di papan tulis" kata Pak Budi.

“Siswa jadi lebih lebih aktif dalam belajar, hampir gak ada yang izin ke WC kalau jam pelajaran saya ” sambungnya dengan bangga.

Pelajaran Bahasa Indonesia pun disulapnya menjadi pelajaran yang sangat dinanti siswa tiap minggu. Pak Budi pun naik pamornya di ruang guru. Sering ia pujian dari Kepsek dan sesama rekan guru lainnya. 

Suatu pagi di sekolah tersebut listrik padam. Pak Budi kalang kabut mencari generator listrik. Namun, tak jua didapatkannya (karena memang belum diibeli pihak sekolah). Pak Budi akhirnya masuk kelas tanpa senjatanya. Ia harus menggunakan cara Klasik, ceramah sambil mencatat di papan. Siswa yang tadinya semangat lambat laun jadi pasif, tak termotivasi dan cenderung mengantuk. Ternyata pak Budi tak mahir ceramah dikelas. Selama ini ia diselamatkan oleh Proyektor LCD dan laptop. Teknologi telah menggeser fungsinya sebagai guru. 

Kisah pak Budi menjadi pengingat pada bapak ibu guru muda yang memanfaatkan teknologi dalam mengajar. Kita istilahkan saja dengan technology syndrome. Memang tak berdosa ketika kita menggunakannya sebagai penunjang performa mengajar kita. Namun, patut diingat bahwa teknologi hanya alat bantu, teknologi tidak bisa menggantikan sang guru. Ibarat konser gitar tunggal, penonton harus terpukau pada kemampuan gitarisnya bukan pada gitarnya. Ya, siswa harus terpukau karena keterampilan anda mengajar, bukan terpukau karena slide show yang anda tampilkan. Jadi, jangan sembunyi di belakang teknologi.

Secanggih apa pun teknologi dalam kelas, anda tetap menjadi pendidik, presenter, dan penyaji utama bagi siswa. 

Bagaimana caranya menghindari technology syndrome dikalangan guru muda ? Mudah saja.

Jadikan tokoh-tokoh dimasa lalu sebagai sumber inspirasi. Bayangkan bagaimana Socrates, Aristotles, Ki hajar Dewantara dan tokoh pendidikan lainnya mengajar. Mereka bisa ceramah berjam-jam, namun tidak membuat pendengarnya bosan.

Buatlah RPP, Prota, Promes, dan Silabus sendiri, jangan download dari internet. Repot? Tentu saja. Tapi dengan menyusun RPP sendiri, kita jadi tahu tiap tahapan dalam kegiatan mengajar kita. Mana yang awal, inti dan penutupnya. Sehingga pola mengajar terstruktur rapi.

Mari mengenal siswa-siswi kita. Bukan secara individu, namun secara umum. Setiap kelas biasanya mempunyai satu karakter yang menonjol. Ini hanya akan nampak ketika anda punya minat pribadi ketika mengajar mereka. Jika sudah tahu karakter kelas, anda dapat menentukan metode mengajar yang sesuai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline