[caption id="attachment_31828" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi"][/caption] PUBLIK Belanda geger dan sewot. Bayangkan saja pemain legendaris negeri itu yang setiap tutur katanya dianggap sakti mandraguna, Johan Cruyff, lebih menjagokan Spanyol di babak final Piala Dunia 2010 malam ini. Johan Cruyff secara terang-terangan mengaku tidak menyukai gaya sepakbola pragmatis yang diterapkan tim Oranye sepanjang kampanye South Africa 2010 sehingga ia lebih mendukung sepakbola indah ala Spanyol. Dia yakin Spanyol akan menjadi negara kedelapan di dunia yang merebut tropi FIFA World Cup setelah Uruguay, Italia, Brasil, Inggris, Jerman, Argentina dan Perancis. Atas nama nasionalisme wajarlah jika publik Belanda sewot terhadap Cruyff menjelang final di Stadion Soccer City Johannesburg, Minggu (11/7/2010) malam atau Senin (12/7/2010) dinihari Wita. Seburuk-buruknya tim Belanda, Cruyff mestinya mendukung tim nasionalnya. Memberi motivasi kepada Wesley Sneijder dkk. Johan Cruyff kiranya tidak sedang terpengaruh oleh ramalan gurita bernama Paul di Jerman yang selama Piala Dunia 2010 telah menjadi "bintang luar lapangan" atas kejituan ramalannya. Tentang laga final si Paul meramalkan Spanyol keluar sebagai pemenang. Banyak orang percaya Paul benar lagi seperti dia meramalkan Jerman tersungkur di semifinal Rabu lalu. Dukungan Cruyff terhadap Spanyol perlu dicermati dengan jernih. Cruyff pasti tidak asal omong. Cruyff punya pengalaman sangat kaya dengan tim Oranye. Pengalaman telah mengajarkan legenda sepakbola Belanda itu tentang realisme nasib. Bahwa nasib, entah nasib baik atau nasib buruk bisa datang kapan saja. Nasib baik dan buruk itu pun dapat muncul dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Kepada sepakbola Cruyff telah menyumbang pesan sangat indah lewat puisinya. "Kalah atau menang itu sering ditentukan hanya dalam waktu tiga menit saja." Dengan kata lain "kegilaan tiga menit" dapat mengubah nasib sebuah tim. Menjadi pemenang atau pecundang. Suatu kesebelasan yakin tidak akan kalah. Tetapi mendadak tumbang dan banjir air mata. Sudah banyak tim mengalami kekejaman nasib seperti ini, ingat misalnya Brasil di final Piala Dunia 1950 melawan Uruguay atau di Liga Champions Eropa orang akan selalu mengenang final 1999 di Stadion Nou Camp Barcelona. Tim raksasa Jerman, Bayern Munich dikalahkan Manchester United (MU) 2-1 dalam waktu 112 detik. Munich yang sudah siap berpesta pora tiba-tiba meradang dan terkapar. Bagi MU kemenangan di final 1999 adalah the dream comes true. Mimpi yang jadi kenyataan! Kemenangan dalam waktu 112 detik itu mukjizat. Cruyff punya pengalaman sendiri tentang "kegilaan tiga menit". Memimpin tim Oranye di Piala Dunia 1974 lewat sepakbola indah total football, Johan Cruyff dkk meraih hasil sempurna sejak putaran pertama. Rival-rival berat digilas. Hajar Argentina 4-0. Juara bertahan Brasil disingkirkan dengan skor 2-0. Pada babak final melawan Jerman Barat di Stadion Olimpiade Munich 7 Juli 1974, banyak orang menjagokan Belanda keluar sebagai juara. Di hadapan 75.200 penonton, Belanda mengejutkan tuan rumah pada lewat gol cepat menit ke-2 hasil sontekan Johan Neeskens dari titik penalti. Wasit John Taylor (Inggris) memberikan hadiah penalti karena pemain belakang Jerman Barat menjatuhkan Cruyff saat ia solo run di kotak penalti. Menit ke-25, Jerman membalas lewat penalti Paul Breitner. Skor 1-1. Belanda masih terus menari-nari lewat total football. Johan Cruyff dkk mengurung Jerman setengah lapangan. Saat mereka asyik menyerang dan kehilangan bola, Jerman membangun counter attack. Menit ke-43, Gerd Mueller mencetak gol ke gawang Jan Jongbloed setelah melewati hadangan Arie Haan dan Wim van Hanegem. Skor 2-1. Babak kedua tim Oranye tetap mendominasi pertandingan. Jerman di bawah komando Franz Beckenbaur telah mengunci mati pertahanannya. Serangan Belanda seolah membentur tembok. Perjuangan Cruyff sia-sia. Sampai wasit Taylor meniup peluit panjang, skor tak berubah. Jerman Barat juara. Cruyff pulang kampung sambil mengenang kekalahan itu sebagai memori pahit selama kariernya meskipun Belanda disanjung dunia sebagai juara tanpa mahkota. Rekam jejak Belanda menuju Afrika Selatan 2010 luar biasa. Belanda meraih hasil 100 persen selama babak kualifikasi Grup 9 zona Eropa. Di putaran final sejak 11 Juni 2010, Belanda adalah satu-satunya tim yang tak terkalahkan. Beda dengan Spanyol yang sempat dipermalukan Swiss 1-0 pada laga pembuka Grup H dan hanya menang tipis atas lawan-lawannya di babak 16 besar, perempatfinal dan semifinal. Dengan menjagokan Spanyol, Cruyff sesungguhnya sedang mengingatkan tim Oranye tentang realisme nasib. Belanda yang jalannya demikian mulus sejak babak kualifikasi bisa saja tersandung di partai puncak. Kecuali itu, Cruff yang pernah sukses melatih Barcelona paham betul karakter Spanyol dan kualitas tim asuhan Vicente Del Bosque itu. Tim Spanyol 2010 adalah Spanyol yang menjuarai Piala Eropa 2008. Kolektivitas permainan mereka sangat solid. Kualitas pemain pun sangat merata di semua lini vital mulai dari penjaga gawang hingga ujung tombak. Meski Fernando Torres belum mencetak gol sampai saat ini tetapi Torres adalah pengganggu lawan nomor satu. Lawan memperhatikan Torres, David Villa yang oportunis sejati mudah berkelit untuk mencetak gol dari berbagai sisi. Kekuatan Belanda adalah serangan baliknya. Tapi titik rawan Belanda justru di lini belakang. Tabir pertahanan yang dikoordinir Giovanni van Bronckhors itu bakal remuk redam menghadapi aksi trio maut Spanyol, Iniesta, Xavi dan Alonso. Ini yang diingatkan Cruyff. "Jika Anda bermain sepakbola menyerang seperti diperagakan Spanyol, Anda akan memiliki peluang besar untuk menang. Dan, jika Anda bermain dengan serangan balik melawan tim seperti itu, Anda akan menderita. Belanda tahu mereka akan berhadapan dengan tim terbaik di dunia," kata Johan Cruyff. Kiranya Cruyff benar. Sebab cara bermain tiki-taka ala Spanyol berbeda jauh dengan gaya Belanda. Spanyol akan lama memainkan bola, berputar-putar lewat umpan pendek dari ke kaki ke kaki. Ingat nasib Jerman di semifinal. Philipp Lahm dkk seolah hanya bisa menonton Xavi, Iniesta, Alonso dan Villa mengutak-atik bola sepanjang laga. Belanda malam ini kemungkinan tidak akan mengubah gayanya. Tim Oranye akan cenderung menunggu si Merah La Furia Roja membuat kesalahan dan melumpuhkan Matador melalui serangan balik memanfaatkan kecepatan Arjen Robben dan dobrakan jenius Wesley Sneijder. Belanda sangat ingin mencetak gol lebih awal guna mempertahankan motivasinya meraih juara dunia setelah masuk final ketiga di Piala Dunia. Final 1974 dan 1978 Belanda gagal total. Sampai semalam bursa taruhan memang cenderung mengunggulkan Spanyol. Tapi bursa taruhan itu sebuah perjudian. Sesuatu yang tidak pasti. Jangan-jangan Johan Cruyff tidak tulus ketika dia memuji Spanyol. Soalnya dalam sepakbola selalu ada strategi "makan puji". Memuji habis-habisan lawan sehingga dia merasa tersanjung. Dan, sanjungan bisa membuat orang lupa diri. Lupa daratan dan baru sadar setelah terkapar dengan muka buruk. Mudah-mudahan Spanyol menyadari itu dan tetap mempertahankan karakter permainannya. Ingat "kegilaan tiga menit". Toh Belanda bukanlah tim yang mudah dikalahkan. Tim Matador mestinya bermain rileks saja karena apapun hasil pertandingan final malam ini, mereka akan dihormati dengan diarak memakai bus terbuka melintasi jalan-jalan raya di ibu kota Madrid. Pemerintah Kota Madrid telah mempersiapkan resepsi dan pesta besar untuk Iker Casillas dkk. "Pemerintah bersama Federasi Sepakbola Spanyol telah menyiapkan resepsi besar untuk para pemain sebagai tanda kekaguman," demikian pernyataan Balai Kota Madrid. Luar biasa! Menang atau kalah malam ini, Spanyol telah mencatat prestasi hebat di Piala Dunia. Selamat bertanding!*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H