Oleh Dion DB Putra [caption id="attachment_183047" align="alignright" width="300" caption="shutterstock"][/caption] TAK terasa sudah 56 pertandingan Piala Dunia 2010 yang kita nikmati melalui layar televisi. Piala Dunia 2010 menyisakan delapan pertandingan lagi yaitu empat partai perempatfinal, dua partai semifinal dan dua pertandingan grandfinal. Final memperegutkan tropi FIFA World Cup dan satu partai perebutan tempat ketiga. Jika fase penyisihan grup melahirkan kejutan dengan tumbangnya tim raksasa Italia dan Perancis, babak 16 besar praktis sepi dari kejutan. Delapan tim yang lolos ke perempatfinal tidak jauh dari prediksi para analis bola. Slowakia yang sempat disanjung sebagai tim "pembunuh raksasa" Italia gagal melanjutkan kejutan melawan tim Oranye Belanda. Demikian pula dengan Jepang, Chile, Meksiko, Korea Selatan, Amerika Serikat, Inggris dan Portugal. Dua nama terakhir bertemu tim raksasa, Jerman dan Spanyol. Dan, tim terbaiklah yang menang! Kehebohan babak 16 besar justru kontroversi perlu tidaknya penggunaan teknologi dalam sepakbola, terutama tayangan ulang guna membuktikan bola masuk gawang atau belum serta posisi offside pemain. Kontroversi itu mengemuka lagi setelah gol Frank Lampard ke gawang Jerman tidak disahkan wasit asal Uruguay, Jorge Larrionda. Tayangan ulang televisi jelas menunjukkan bola sudah melewati garis gawang. Kiper Jerman, Manuel Neuer pun mengakui. Namun, Jorge Larrionda setelah diskusi dengan hakim garis Pablo Fandino tetap memutuskan bola belum melewati garis. Inggris akhirnya kalah 1-4. Wasit asal Italia, Roberto Rosseti juga melakukan kesalahan fatal. Rosetti yang pimpin laga Meksiko melawan Argentina, justru mengesahkan gol Carlos Tevez, meski striker Argentina itu dalam posisi offside saat menerima umpan pendek Lionel Messi. Atas kesalahan wasit itu, Presiden FIFA, Sepp Blatter mohon maaf kepada asosiasi sepakbola Inggris dan Meksiko. Namun, keputusan FIFA tak berubah. FIFA menolak penggunaan teknologi agar permainan sepakbola tetap manusiawi. Wasit tetaplah manusia yang paling menentukan di lapangan. Wasit tak luput dari kekhilafan. Justru di situlah nilai utama sepakbola sebagai permainan anak manusia. Tidak cuma minta maaf, FIFA telah memulangkan Larrionda dan Rosetti ke negaranya. Keduanya tidak lagi bertugas di South Africa 2010. Larrionda dan Rossetti menyusul dua wasit yang dipulangkan lebih dulu akibat kesalahan di fase grup, yaitu Koman Coulibaly dan Stephane Lannoy. Coulibaly menganulir gol Amerika Serikat atas Slovenia yang membuat pertandingan berakhir 2-2. Sedangkan Lannoy mengganjar Kaka dengan kartu kuning kedua yang menyebabkan bintang Brasil itu terusir dari lapangan saat melawan Pantai Gading. Kaka dapat kartu merah akibat reaksi berlebihan Kader Keita saat kontak fisik.
***
MESKIPUN kukuh pada pendiriannya menolak penggunaan teknologi, FIFA sesungguhnya sedang gundah melihat masa depan sepakbola sebagai permainan yang indah dan menghibur lewat terciptanya gol demi gol di lapangan. Data statistik Piala Dunia 2010 telah mengejutkan badan sepakbola dunia tersebut. Selama penyisihan grup yang memainkan 48 partai hanya tercipta 101 gol atau rata-rata 2,1 gol per pertandingan. Gol paling subur disumbang empat tim di Grup B dan G masing- masing 17 gol. Grup H paling miskin dengan hanya delapan gol. Dibanding fase penyisihan grup, putaran 16 besar sedikit lebih produktif yaitu tercipta 22 gol dari delapan pertandingan -- minus delapan gol hasil adu tendangan penalti dalam partai Paraguay vs Jepang. Artinya selama babak 16 besar rata-rata tercipta 2,7 gol per pertandingan. Kendati masih menyisakan delapan pertandingan lagi hingga final 11 Juli 2010, FIFA tidak yakin produktivitas gol Piala Dunia 2010 akan lebih baik ketimbang Piala Dunia sebelumnya. Kecenderungan itu sungguh mencemaskan karena permainan sepakbola makin membosankan. Data FIFA tentang produktivitas gol dalam tiga event Piala Dunia terakhir menunjukkan kondisi tersebut. Pada Piala Dunia 1998 di Perancis, rata-rata gol per pertandingan 2,67. Piala Dunia 2002, menurun lagi menjadi 2,52 gol per pertandingan. Dan, di Piala Dunia Jerman 2006, rata-rata hanya tercipta 2,30 gol per pertandingan. Trend menurun itu agaknya menguat di Piala Dunia 2010. Maknanya apa? Kiranya jelas bagi penggemar bola bahwa cabang olahraga terpopuler sejagat itu kian pragmatis. Yang penting hasil akhir, bukan proses! Sebuah tim tidak lagi menjunjung tinggi keindahan bermain bola. Tega meninggalkan attacking football yang pasti menghibur. Mereka menganut prinsip: Percuma bermain indah tapi kalah. Sejarah bola cuma ingat pemenang! Maka tujuan tim hanya satu, raih kemenangan lewat cara-cara yang dimungkinkan oleh rule of the game. Bermain defensif tidak melanggar ketentuan FIFA. Benarlah kata para sesepuh sepakbola dunia seperti Pele, Franz Beckenbauer, Johan Cruyff, Tostao dan Michel Platini bahwa di South Africa 2010 permainan bertahan dan mengandalkan serangan balik jadi pilihan utama tim peserta. Kecuali Spanyol yang tampil konsisten dengan umpan-umpan pendek dalam menyerang total lawan sepanjang laga, tim lain seperti Jerman, Belanda, Brasil, Argentina, Uruguay, Ghana dan Paraguay lebih mengutamakan back yang tangguh dan disiplin menjaga wilayah sendiri dari gempuran musuh. Di Afrika Selatan 2010, jabulani lebih lama berputar di blok tengah dan lini kedua. Saat digempur lawan, enam sampai delapan pemain membangun tembok di luar kotak 16 meter. Setelah mengamankan bola, mereka baru serangan balik mengandalkan kecepatan striker dan gelandang. Dalam bahasa teknis bola, amankan dulu pertahananmu baru serang lawan demi menghasilkan gol. Maka yang tersaji adalah duel yang monoton. Permainan ekstra hati-hati. Brasil yang sejak abad ke-20 identik dengan permainan indah dan menyerang, di bawah asuhan Dunga tegas mengucapkan sayonara kepada sepakbola indah ala Samba. Tujuan Dunga hanya kemenangan. Persetan dengan jogo bonito. Persetan dengan tarian Selecao yang menghibur dan menghipnotis dunia warisan Edson Arantes Do Nascimento alias Pele. Brasil 2010 adalah Brasil yang lain. Begitu kerisauan Tostao, salah seorang legenda Brasil di Piala Dunia 1970. "Brasil yang dulu dipuja karena mampu melakukan umpan-umpan mengalir dan indah, kini tak ada lagi. Sekarang era sepakbola dengan pertahanan ketat dan serangan balik," kata Tostao. Belanda pun setali tiga uang. Tidak terlihat agresivitas tim Oranye yang membuat penonton jatuh hati kepadanya. Sejak diracik pelatih miskin senyum Van Marwijk, Belanda dituntut menjadi tim yang efektif meraih hasil bukan penghibur yang dalam sejarah Piala Dunia memang sekadar menobatkan Belanda sebagai juara di hati penonton atau juara tanpa mahkota. Ingat nasib Belanda final Piala Dunia 1974 melawan Jerman Barat dan final 1978 melawan Argentina. Oranye meliuk-liuk laksana balerina. Menghibur lewat tik-tak total football yang menawan hati tapi berakhir sebagai runner-up. Hilangnya keindahaan sepakbola Belanda tentu ditangisi banyak orang. Apalagi pelaku utama seperti Johan Cruyff yang mewariskan tradisi tersebut. Dalam kolomnya di Harian De Telegraaf seperti dikutip Kompas, 29 Juni 2010, pemain legendaris Belanda itu menangisi sirnanya total football. Cruyff memuji Chile, suatu sindiran halus buat Belanda. "Di akhir turnamen yang diikuti 32 tim, hanya akan ada satu juara. Jadi, di saat peluang merebut juara sangat tipis, kesempatan menghibur para suporter ada di tangan. Sayangnya, Chile yang mengambil kesempatan tersebut," ujar Cruyff. Chile sudah gugur. Tiga gol Brasil yang memulangkan Chile pun bersumber dari serangan balik cepat trio maut tim Samba, Luis Fabiano, Robinho dan Kaka. Cruyff tak lupa menyindir Brasil. "Hilang ke manakah tim Brasil yang selama ini kita kenal di Piala Dunia?" kata Cruyff seperti dikutip ESPN Soccernet, kemarin. "Saya melihat tim itu dan mengenang pemain-pemain seperti Gerson, Tostao, Socrates, Falcao atau Zico. Sekarang saya hanya menyaksikan Gilberto, Melo, Bastos dan Julio Batista," katanya. Belanda dan Brasil akan 'perang' di Stadion Nelson Mandela Bay, Port Elizabeth, Jumat (2/7/2010) malam. Laga perempatfinal ini bakal menyedot perhatian dunia. Tapi merindukan tarian samba dan balet yang menghibur dunia dari Port Elizabeth mungkin terlalu berlebihan.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H