Lihat ke Halaman Asli

Tuhan Manusia?

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Di dalam ajaran Islam, Ihsan merupakan tingkatan tertinggi dari perjalanan spiritual seseorang. Apa itu Ihsan? Nabi bersabda, “…engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak mampu melihat-Nya, maka ketahuilah bahwa Dia selalu melihatmu". Seseorang yang telah mencapai tingkatan ini, maka bisa dipastikan khusuknya shalat akan terbawa ke dalam kehidupan sehari-hari. Mereka akan takut berbuat dosa, karena Dia Maha Melihat. Seluruh gerak geriknya tidak akan luput dari perhatian Sang Penguasa Jagat. Berbahagialah orang-orang yang telah mencapai derajat ini. Namun, meskipun memiliki kesamaan, bersedihlah sedalam-dalamnya bagi orang-orang yang takut berbuat salah karena selalu diawasi oleh sesama manusia. Kisah inilah yang akan saya bagi.

Beberapa waktu yang lalu saya berkesempatan untuk mengambil sejumlah fotocopy-an di sebuah percetakan. Melihat besarnya ruangan, plus satu kantor cabang, dan kelengkapan peralatannya, saya beranggapan bahwa si pemilik telah cukup sukses mengembangkan usahanya. Selain lengkapnya peralatan, ada satu hal yang membuat saya sedikit terkagum, yakni adanya kamera cctv. Di dalam televisi layar datar ukuran 24 inches itu, terdapat beberapa gambar yang dipancarkan secara langsung dari cctv. Selain gambar di dalam ruangan di mana saya berdiri, dua sisanya adalah gambar dari kantor cabang yang berada lima meter di sebelahnya.

“Mas coba itu tegur anak-anak, suruh kerja. Kerjaannya kok malas-malasan,” ujar seorang wanita yang sedang melayani fotocopy-an saya. Sang suami melihat ke arah tv, dan berkesimpulan sama dengan sang istri. Saya pun tidak mau kalah untuk menyaksikan bagaimana gerak-gerik para pekerja diawasi dengan alat canggih nan mengerikan itu. Terlihat di layar, mereka tidak melakukan pekerjaan apa pun, karena memang sedang tidak ada pelanggan yang datang. Malas! Itulah kesimpulan dua orang suami istri pemilik usaha percetakan tersebut. Sang suami pun bergegas meluncur ke sebelah dan dengan seketika muncul di layar tv. Setelah ditegur oleh si bos, dua orang pekerja di kantor cabang pun langsung (terlihat) melakukan pekerjaan, entah memang ada yang dikerjakan atau pura-pura bekerja. Paling tidak itulah yang terlihat di layar tv.

Kejadian tersebut mengingatkan saya pada konsep Panopticon yang digagas oleh Jeremy Bentham. Panopticon merupakan suatu konsep mengenai sistem pengawasan ekstra ketat terhadap para tahanan. Bentuk gedung dibentuk melingkar, dengan menara pengawas berada tepat di tengah-tengahnya, sehingga memungkinkan untuk mengawasi ke segala arah. Di dalam panopticon, pihak yang diawasi tidak akan bisa melihat para pengawas, sehingga mereka akan terus merasa diawasi sepanjang waktu.

Dalam perkembangannya, panopticon tidak hanya diterapkan pada penjara, tetapi juga semua institusi yang memiliki hierarki kekuasaan, seperti perusahaan, rumah sakit, bahkan sekolah. Dalam novel berjudul “We”, Eugene Zamyatin telah menerapkan konsep panopticon dalam ceritanya. Seluruh kegiatan warga negara, tanpa kecuali, selalu diawasi oleh negara. Seluruh jadwal kegiatan disamaratakan, semenjak bangun tidur, sampai menuju tempat tidur lagi. Tidak ada kehidupan privat, kecuali hanya beberapa jam saja dalam satu minggu.Selain Zamyatin, George Orwell pun menulis novel dengan tema serupa berjudul “1984”. Orwell mengisahkan, seluruh kehidupan warga negara diawasi oleh teleskrin (sekarang cctv). Jika ada gerak-gerik yang mencurigakan (terutama keinginan untuk berontak) maka aparat pemerintahan akan dengan segera menangkap, dan “menghilangkan” yang bersangkutan dari sejarah.

Dalam ranah kajian sosial ilmiah, Michel Foucault menggunakan panopticon sebagai simbol dari upaya pendisiplinan masyarakat modern. Pengawasan yang dilakukan oleh penguasa (bisa berupa pengawasan pemerintah terhadap rakyatnya, bos terhadap pekerjanya, sipir terhadap tahanan, atau guru terhadap muridnya) secara terus menerus, merupakan suatu metode untuk ‘menormalkan’ perilaku masyarakat. Seperti yang diceritakan oleh Orwell dan Zamyatin di atas, dengan pengawasan super ketat dan terus menerus, sangat mustahil bagi seseorang untuk bertindak di luar batas kenormalan yang ditetapkan oleh para penguasa. Tujuan utama dari sistem ini adalah menjadikan manusia robot-robot yang patuh kepada penguasa, tanpa memberikannya kesempatan untuk berpikir bahwa ada kehidupan yang lain dari ini.

Saya beranggapan bahwa manusia yang tidak bisa melihat dan/atau merasa dilihat Tuhan dalam kehidupannya, akan sangat bergantung pada keimanannya. Melihat atau pun tidak, yang penting percaya bahwa tiada tuhan selain Allah. Namun, jika masih juga tergelincir, paling tidak mereka tetap bisa melaksanakan ibadah badaniah, meski kerap kali tidak tercermin dalam perilakunya sehari-hari. Banyak golongan yang celaka, karena mereka tidak khusuk dalam shalatnya. Cukup mengerikan menjadi golongan ini. Namun, setelah menyaksikan kejadian di atas, saya menyimpulkan, ada golongan yang lebih mengerikan, yaitu golongan yang takut kepada penguasa, dengan alasan apa pun. Golongan ini (saya tidak bisa menamakannya) bertindak/bekerja kepada penguasa (bos, pemerintah, guru, dll) seakan-akan mereka melihatnya. Jika mereka tidak mampu melihatnya, maka ketahuilah bahwa “dia” selalu melihat mereka (melalui cctv).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline