Lihat ke Halaman Asli

Dion Pardede

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Akan terus dan selalu belajar.

Liberalisasi Ditinjau dari Priiit Bangabang Parkir

Diperbarui: 2 Juni 2021   02:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

"Priiit... " Sederhana namun menggelisahkan. Betapa tidak, bunyi itu adalah tanda untuk mengocek kantong dan/atau membuka dompet untuk mengambil uang dua ribu.

Tidak hanya berlaku di mall atau kantor. Minimarket, ATM, bahkan warung miso di jalan Adam Malik Siantar pun bayar (enak fren). Saya pengen sebut namanya, tapi gausah. Jasa misonya tidak akan saya lupakan hanya karena saya disakiti bangabang parkir.

Di paragraf sebelumnya dapat dibaca bahwa parkir berbayar di mall atau kantor adalah hal yang lumrah. Tapi kalau dipikir-pikir makin kurangajar jugak. Kita mengocek kantong bukan lagi untuk memarkirkan kendaraan, bahkan sekadar lewat atau mengantar penumpang. Portal parkir kini shares the same energy dengan pintu tol. Mau lewat bayar.

Tapi bukan Cuma parkir kerah putih yang makin kurangajar. Bangabang parkir pun kuliat makin sukak2nya.

Saya ambil contoh warung miso di jalan Adam Malik Siantar di seberan tadi. Misonya enak, gausah dibahas. Parkirnya yang kurangajar. Gak peduli mau sebentar atau lama, mau bungkus atau makan di situ, atau mau beli atau enggak. Berhenti = bayar.

Saya tidak keberatan membayar parkir tidak peduli resmi atau tidak. Terlebih parkir on street maupun off-street yang retribusi maupun pajaknya masuk ke dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Tapi makin ke sini sepertinya ada pergeseran yang geser kali. Dulu, logika parkir harus bayar di toko-toko, atau warung-warung ya karena selama kita berbelanja, kendaraan kita dijaga. Jadi, lahan parkir itu gratis disediakan oleh toko atau warung. Itu bahkan cuma sebagian, karena sebagian besar malah menggratiskan lahan parkir sekaligus pelayanannya.

Tapi sekarang, kita membayar untuk berhenti. Sesaat setelah kunci sepeda motor di putar ke kiri hingga berbunyi 'klik' atau 'c'tek', saat itulah bangabang parkir bangkit dari kursi plastiknya. Bangabang parkir beranjak sangat cepat, bak Hans Landa ketika mencium darah Yahudi.

Kadang saya cuma bonceng kakak atau ibu saya ke warung miso. Gak makan di situ. Bungkus. Saya menunggu di motor karena memang gak bakal lama. Lima menit selesai. TAAAPII, pas saya mulai mundur; "Priiiit" pun mulai berbunyi dengan syahdu. Saya be like "hello!?, kan saya dari tadi di atas motor, ini duit buat apaa?? Like seriously? Omg hellow". Tentu saja saya ucapkan itu dalam hati. Saya introvert.

Saya merasa hancur. Filosofi parkir yang seharusnya adalah sesungguhnya pada hakekatnya dan sebenar-benarnya merupakan bentuk pelayanan konsumen kini telah terkomodifikasi.

"Priiiit" bukan lagi lambang pelayanan serta pemantik senyum dan "makasih bang, *klakson dua kali*". Seiring perkembangan zaman ia malah jadi penghuni catatan pengeluaran.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline