Membahas diplomasi publik, tidak ada definisi yang pasti untuk menjelaskannya. Setiap negara mempunyai definisi masing-masing sesuai dengan tujuan serta sasaran diplomasi publik yang ditetapkan. Diplomasi Publik (DP) pada dasarnya menekankan kepada hubungan kekuasaan politik yang memiliki kaitan kuat dengan hasil kebijakan luar negeri serta keamanan nasional.
Dapat dipahami secara lebih sederhana bahwa DP adalah suatu agenda diplomasi publik yang didorong oleh kepentingan tertentu atau dipengaruhi dari pemimpin yang sedang berkuasa.
Mantan Presiden Amerika Serikat, Barrack Obama, menekankan gaya diplomasi publik yang kolaboratif untuk menyatukan para mitra global AS agar tujuan bersama dapat terealisasi. Cara ini sedikit berbeda dibanding yang dilakukan pendahulunya, George W. Bush, dengan gaya diplomasi publik sepihak melalui penekanan terhadap pemerintahannya agar memenangkan setiap "perang" yang dipimpin AS. Kembali lagi, setiap pemimpin negara pasti memiliki gaya, konsep, tujuan, serta sasaran masing-masing dalam diplomasi publik ini.
Berbicara terkait AS, sebagai sebuah konsep modern, pada mulanya diplomasi publik berasal dari perjuangan ideologis abad 20 antara negara adidaya tersebut dan Uni Soviet. Masa ini adalah era ketika manajemen diplomasi ditutut memenangkan hati dan pikiran publik global.
Pada tataran dunia, diplomasi publik mengacu pada upaya komunikasi global untuk menginformasikan, mempengaruhi, serta melibatkan publik global untuk mendukung kepentingan nasional suatu negara.
Upaya ini dirancang agar transparan dalam misinya dan terbuka dalam fungsinya. Komunikasi terbuka, interaksi, dan menjangkau publik melalui pengelolaan berita serta opini sangat diharapkan dalam proses diplomasi publik.
Ada tiga lapisan utama keterlibatan dalam diplomasi publik, yakni komunikasi monologis (satu arah), dialogis (dua arah atau multidireksional), dan kolaboratif (usaha kelompok/proyek bersama). Komunikasi monologis selalu melibatkan pernyataan publik dengan efek global yang bertahan lama. Sedangkan komunikasi dialogis penting untuk keterlibatan dalam politik internasional.
Pada komunikasi dialogis ini, dialog diperluas serta diperkaya hingga terjadi pertukaran informasi dan gagasan melintasi batas sosial budaya. Lapisan ketiga, yaitu kolaboratif, membantu kita untuk memahami bagaimana diplomasi publik beroperasi dalam lingkungan komunikasi global yang melibatkan tiga atau lebih negara atau organisasi internasional dengan permasalahan-permasalahan lebih kompleks.
Sementara berbicara pada tataran praktis, saat ini setiap organisasi internasional nonpemerintah disarankan memperhatikan misi diplomasi publiknya serta menjelaskan terkait pemahaman tentang tujuannya dalam komunikasi eksternal dan internal. Hal ini karena mereka harus menyadari dan mempertahankan citra nama organisasi pada lingkungan internasional dalam zaman yang semakin tidak menentu ini.
Terkait topik ini, saya akan berkomentar mengenai masa depan diplomasi publik yang dapat semakin dinamis, fleksibel, dan kemungkinan tidak memiliki standar pasti oleh karena kemajuan teknologi informasi serta makin kompleksnya permasalahan dunia. Diplomasi publik dapat memasuki era baru, ditandai pergeseran informasi satu arah tradisional menjadi tren pertukaran publik interaktif dua arah (McPhail, 2014:78).
Pergeseran itu tentu mendukung timbal balik antara kedua belah pihak atau lebih yang dapat membuka peluang terciptanya hubungan baik, kontinuitas serta kepercayaan dalam jangka panjang, dan komitmen yang tinggi.