Di depan altar yang megah dengan tatanan aneka bunga, aku berusaha menata perasaan. Detak jantungku berdegup tak karuan. Napasku gusar tak beraturan. Apakah begini yang dirasakan setiap insan menjelang pernikahan? Aku tiada bisa menahan. Air mataku meleleh perlahan.
Kurang dari sebulan lalu aku bertemu dengannya. Itu pun di tengah kalut hati yang tiada terkira. Patah hatiku karena putus cinta. Kehadirannya menjadi sejuk embun peredam luka. Terlebih, dia adalah pria yang lembut dan berhati peka.
Kini, selangkah lagi aku dan dia bersisihan di depan altar pernikahan. Memang, ini impianku. Menikah dengan pria yang bisa menerimaku apa adanya. Namun, hati ini seakan tiada tega. Merasa tak pantas menerima cintanya yang sungguh apa adanya. Ia rela menjadi ayah dari buah rahimku yang bukan darah dagingnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H