Lihat ke Halaman Asli

Dionisius Riandika

Seorang Educator, Hipnomotivator, Hipnoterapis, Trainer, Penulis

Imamat

Diperbarui: 12 November 2024   11:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi Pribadi

Luna menangis deras di dadaku. Tinjunya bertubi-tubi menghujani tubuhku. Setelah meraung, ia memelukku erat sambil melabuhkan isak. Kubalas dengan dekapan tak kalah lekat. Kami mematung dan masing-masing mencoba melerai rasa yang mendung.

Sesaat, kami menikmati kebersamaan dalam waktu yang mengalun lambat. Ada perih dan sedih yang berkelindan dalam perasaan. Memori roman bersamanya perlahan memenuhi ruang hati. Aku hampir kembali terlena. Namun, kenangan demi kenangan itu memudar pelan-pelan. Meninggalkanku dalam sendiri yang tegar.

"Aku tetap mencintaimu, Luna," kataku lirih sambil menatap rembulan bulat berwarna mentega yang mengambang tepat di hadapanku. Luna diam. Wajahnya sempurna terbenam di dadaku yang kembali basah oleh air matanya. "Ikhlaskan aku menanggapi panggilan suci ini." Dari bibirku kalimat itu meluncur bersamaan dengan air mataku yang mengucur.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline