Lihat ke Halaman Asli

Dionisius Bei

Mahasiswa Filsafat

Kebahagiaan adalah Being-ku

Diperbarui: 20 April 2021   17:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

  • Abstrak 

Dalam tulisan ini, saya fokus pada tema tulisan saya yang bejudul "Kebahagiaan adalah Beingku", yang saya angkat di sini adalah perbandingan prespektif tentang Kebahagiaan, menurut Armada Riyanto dan Valentinus Saeng. Kedua filosof ini memiliki prespektif yang berbeda tentang arti kebahagiaan itu sendiri. Menurut, Armada Riyanto, dalam bukunya yang berjudul Menjadi-Mencintai, Kebahagiaan adalah Sang Peziarah. Kebahagiaan adalah sebuah peziarahan manusia yang di lakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Bagi beliau, bahagia itu tidak tunggu nanti tetapi dilakukan sejak saat ini dan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan, menurut Valentinus, yang mengikuti Thomas Aquinas, mengatakan bahwa kebahagiaan sejati adalah persatuan dengan Sang Kebahagiaan itu sendiri, yakni Tuhan. Saya mengikuti Armada Riyanto, menegaskan bahwa kebahagiaan saya adalah menikmati dan bahagia dengan apa yang saya lakukan saat ini. Saya harus bahagia dengan pilihan saya dan apa yang saya lakukan. Dengan menggunakan metode perbandingan, saya akan mengupas arti kebahagiaan itu. Tentu dengan perbandingan prespektif dari kedua filosof ini.

Kata Kunci: Kebahagiaan, Being, Eksistensi, Peziarahan, Realitas

  •  
  • Pendahuluan
  • Setiap manusia selalu dan senantiasa menginginkan kebahagiaan dan berusaha untuk memiliki kebahagiaan itu. Kebahagiaan menjadi cita-cita dan tujuan hidup setiap pribadi. Maka, tidak heran apabila kebanyakan orang sampai menghalalkan berbagai macam cara untuk bisa mencapai kebahagiaan itu. Tidak ada satu orangpun di dunia ini yang mau hidup di dalam penderitaan dan terkungkung dalam kesengsaraan, semua orang menginginkan kebahagiaan. Memang benarlah, bahwa secara kodrati dalam diri manusia terdapat dua fakta ini, yakni penderitaan dan kebahagiaan. Namun, kebanyakan orang hanya menerima kebahagiaan dan menolak penderitan. Mereka hanya mau menerima eksistensi manusia sebagai makluk yang mencari kebahagiaan. Oleh sebab itu, mereka berusaha jatuh bangun untuk menggapai kebahagiaan tersebut, meskipun terkadang nyawa mereka menjadi taruhannya. Apabila penderitan terjadi atas diri mereka, mereka akan berusaha semaksimal mungkin untuk menjauhkan atau menghindarinya. Bagi mereka, penderitaan adalah penghalang untuk mecapai kebahagiaan. Namun, dalam kehidupan nyata kedua fakta ini tidak bisa dilepaspisahkan dari kehidupan manusia. Kebahagiaan hanya bisa dimaknai dan dimengerti dalam keseluruhan kehidupan manusia, termasuk di dalamnya ada pendertiaan. Begitupun sebaliknya. Apabila saya mampu melewati dan mengatasi penderitaan, itulah kebahagiaan yang sesungguhnya. Lalu apa arti kebahagiaan itu? Untuk menjawab pertanyaan itu, dalam tulisan ini saya melakukan perbandingan penjelasan dari Armada Riyanto dan Valentinus Saeng. Kiranya dengan penjelasan kedua filosof ini dapat membuka wawasan kita tentang arti kebahaiaan dan merefleksikannya dalam kehidupan harian kita.
  •  
  • Pemikiran Armada  Riyanto Tentang  Kebahagiaan 
  • 2.1. Sekilas pemikiran Armada Riyanto tentang Manusia

Pemikiran Armada Riyanto menurut saya berciri fenomenologis. Hal ini nampak di dalam bagian awal pengantar bukunya yang berjudul: MENJADI-MENCINTAI. Beliau menjelaskan dengan cermat "bagaimana berfilsafat" itu. Berfilsafat berarti peziarahan Menjadi-Mencintai. Armada Riyanto mengatakan,

Menjadi-Mencintai adalah being manusia. Manusia melangkah, menjadi, memanusiawi, mencintai: ia menyeberangi, melampaui, mentransendensi dirinya, hidupnya, presepsipnya, dan dunianya. Menjadi-Mencintai di tulis dengan tanda penghubung, maksudnya, kedua kata ini seolah-olah satu makna, yang mengurai peziarahan manusia. Karena manusia berziarah, ia Berjalan Menjadi-Mencintai, menggapai kepenuhan cinta.[1]

 Mengikuti alur pemikiran ini, maka dapat dikatakan bahwa manusia adalah eksistensi yang berziarah. Perziarahan itu menurut Armada, tidak terlepas dari keseharian hidup manusia. Maka, berfilsafat sehari-hari menurut beliau selalu bertolak dari hidup sehari-hari. Armada menjelaskan demikian,

 Filsafat fenomenologi mengabdi hidup sehari-hari. Dalam fenomenologi, keseharian adalah sumber pengetahuan. Keseharian adalah lapangan kehidupan, harta karun kebijaksanaan dan kebenaran. Keseharian adalah panorama dinamika kedalaman being manusia.[2]

 Maka, ketika orang tidak memaknai keseharian hidupnya, itu sama dengan tidak mengada atau tidak memanusiawikan dirinya. Karena kebenaran mengenai being manusia ada dalam fenomena keseharian hidupnya. Dan akan bermakna lagi jika "refleksi manusia mengenai beingnya bergulat dengan relasinya dengan Allah."[3] Itulah tujuan akhir dari perziarahan, Menjadi-Mencintai-nya manusia dalam keseharian hidupnya. Ia menjadi bersatu dengan Allah dan memeluk Cinta yang adalah Allah sendiri.

 Dari sini saya dapat memahami bahwa titik tolak dari ide filosofisnya dalam buku Menjadi-Mencintai adalah kecintaanya akan fenomenologis hidup sehari-hari manusia. Sehingga beliau mengatakan, bahwa "catatan kaki dari bukunya adalah kehidupan sehari-hari"[4]

 

 

  • 2.2. Kebahagiaan Menurut Armada Riyanto
  •  
  •                  Konsep kebahagiaan menurut Armada Riyanto tidak terlepas dari pemahamannya tentang manusia, yang beliau uraikan dengan begitu indah di dalam bukunya yang berjudul Menjadi-Mencintai: Berfilsafat Teologi Sehari-hari. Menurut Armada, manusia adalah Sang Peziarah. Peziarahan itu berjalan tanpa berhenti dan dilakukakan sehari-hari. Peziarahan itu selalu dan memilki tujuan tertentu. Armada menegaskan, bahwa "bahagia adalah tujuan akhir dari keseluruhan peziarahan hidup manusia. Sebab, tidak seorang pun manusia yang tidak menginginkan kebahagiaan."[5] Lalu, apakah arti kebahagiaan itu? Beliau memberi jawabannya dengan melihat fenomena yang terjadi dalam hidup sehari-hari. Dia melihat, bahwa kebanyakan manusia lebih melihat kebahagiaan itu hanya sebatas kepuasan fisik-lahiriah semata. Manusia mengindentikkan kebahagiaan itu dengan kekayaan, kekuasaan, kesehatan memadai atau dalam kekuatan dirinya yang perkasa. Namun demikian, manusia tidak merasa puas dengan semua yang ada. Namun, bagi Armada Riyanto, semua indentifikasi di atas hanyalah merupakan kebahagiaan fisik semata dan yang bersifat sementara. Sehingga, beliau menyimpulkan bahwa, "kenikmatan fisik atau apapun tidak sama dengan bahagia. Hingga kini...makna bahagia tidak cukup meyakinkan."[6]
  •  
  •                  Untuk itu, Armada mengutip pendapat Aristoteles yang menyatakan bahwa, bahagia itu bukan pertama-tama bukan tentang fisik. Bahagia merupakan aktivitas manusiawi. Jadi, menurut Armada, bahagia yang dimaksudkan Aristoteles adalah aktivitas mengejar kebahagiaan itu sendiri. Maka, Armada menegaskan,
  •  

  •  
  •                  Logika Aristotelian ini menegur cara pandang kebanyakan. Banyak dari kita yang berpikir bahwa bahagia itu sebuah produk, hasil ganjaran. Artinya, aktivitas itu sendiri tidak berhubungan dengan sesuatu yang membahagiakan; Kebahagiaan itu adalah ganjaran nanti atas aktivitas yang kita jalankan... Misalnya, aktivitas membunuh orang dengan cara sweeping atau menyakitkan orang lain atau bom bunuh diri, kerap dikerjakan dengan keyakinan bahwa kelak dia akan mendapat bahagia di surga. Logika ini aneh dan absurd, serta tentu keliru sama sekali dari sudut pandang Aristotelian. Kebahagiaan jelas tidak sama dengan melakukan keburukan.[7] 
  •  

  •  
  •             Lebih lanjut dijelaskan, bahwa, "kekeliruan yang terjadi oleh karena perbuatan para teroris atau siapapun terpisah dari arti kebahagiaan itu sendiri. Mereka menganggap bahwa kebahagiaan itu masih akan datang, bukan dalam aktivitas yang sedang dikerjakannya. Sekali lagi beliau mengutip Aristoteles, kebahagiaan terletak pada aktivitas mengejar kebahagiaan itu sendiri. Di sini menjadi sangat jelas bahwa kebahagiaan itu bukan persoalan nanti, tetapi di sini dan saat ini. Sebab, jika kebahagiaan itu baru terjadi nanti, mengapa tidak tunggu saja waktu itu? dan untuk apa kita menyibukan diri dengan aktivitas-aktivitas sekarang ini, toh kebahagiaan itu baru terjadi nanti. Hal ini mau menegaskan, bahwa kebahagiaan itu terletak pada aktivitas sekarang ini dan menyatu dengannya.
  •  
  •             Konsep ini kemudian akan menjadi lebih sempurna di tangan Thomas Aquinas. Menurut Thomas, sebagaimana dikutip oleh Armada Riyanto, mengatakan "jika kebahagiaan itu identik dengan produk aktivitas virtus (keutamaan) dan bukan kejahatan, haruslah diandaikan bahwa aktivitas mengejar dan membela virtus adalah aktivitas yang membahagiakan... Keutamaan bukanlah prestasi. Keutamaan adalah perbuatan berkali-kali dan menjadi kebiasaan (habitus).[8] Jadi, kebahagiaan terletak pada aktivitas itu sendiri. Armada kemudian menulis dengan sangat indah, aplikasi dari filsafat Thomas Aquinas.
  •  

  •  
  • Dalam hidup sehari-hari memberi makna kepada yang berkekurangan tentu membahagiakan. Sungguh membahagiakan melihat orang lain tersenyum dan lega karena bisa makan. Tetapi, hal membahagiakan semacam ini tidak dijalankan sekali saja dan lantas memproduksi kebahagiaan terus menerus sepanjang hidup. Jelas tidak demikian. Kebahagiaan adalah aktivitas keutamaan yang dikerjakan terus menerus dalam hidup sehari-hari. Ya, terus menerus. Jika orang berhenti sekali saja dan tidak melakukan kebaikan kepada yang lain, dia kehilangan momen aktivitas yang membahagiakan. Dan dia kehilangan kebahagiaan itu sendiri.[9]
  •  

  •  
  •             Pemikiran ini kemudian dikembangkan dengan mengikuti gagasan Levinas yang mengatakan bahwa, "kebahagiaan tidak ada, kecuali berkaitan dengan kebahagiaan orang lain (Liyan).[10] Liyan adalah semua orang yang semartabat. "Liyan adalah diri sendiri dalam inkorporasi dengan diri sesama. Jadi, membahagiakan Liyan identik dengan membahagiakan diri kita sendiri. dalam hal ini, kita dapat melihat bahwa manusia dalam hal ontologis, apa adanya tanpa memilah-milah. Maka, bahagia berarti hormat terhadap Liyan, terhadap sesamaku, siapapun."[11] Itulah kebahagiaan yang harus dimaknai dalam kehidupan sehari-hari.
  •  

  •  

  •  

  •  

  •  

  •  

  •  

  •  
  • Pemikiran Valentinus  Saeng Tentang  Kebahagiaan 
  •  
  • 3.1. Sekilas  pemikiran Valentinus  Saeng  tentang  Manusia
  •  
  • Dalam artikelnya yang berjudul "Arti Kebahagiaan: Sebuah Tinjauan Filosofis"[12], Valentinus Saeng mendasari gagasannya tentang Kebahagiaan dengan melihat eksistensi manusia. Valentinus menggali pemikirannya dari berbagai jenis aliran filsafat, seperti; Materialisme Praktis, Rasionalis-Intelektualisme, Realisme dan Utilitarianisme. Aliran-aliran filsafat itu memiliki pendasarannya masing-masing dan berbeda tentang Kebahagiaan. Disinilah letak keunggulan Valentinus Saeng. Dia mampu dengan baik merangkai dengan indah tentang "Arti Kebahagiaan". Sehingga akhirnya dia menarik sebuah benang merah, bahwa secara eksistensial, manusia selalu dalam dirinya ingin menggapai kebahagiaan. Manusia selalu merindukan dan mendambakan kebahagiaan di dalam hidupnya. Itulah ciri kodrati asali dari manusia itu sendiri. Hal ini tidak dapat disangkal lagi, sebab demikianlah kebenaranya.
  •  
  •  
  •  
  • 3.2. Kebahagiaan Menurut Valentinus Saeng
  •  
  • Materialisme Praktis
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline