Lihat ke Halaman Asli

Dinoto Indramayu

Belajar, belajar dan belajar....

Irfan Bachdim

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Saya merinding melihat fanatisme dan dukungan yang begitu besar dari para pencinta sepak bola di sini. Saya merinding pula ketika lagu kebangsaan "Indonesia Raya" menggema di dalam stadion, sedangkan saya hanyalah seorang sosok kecil yang tengah berdiri di tengah lapangan yang luas," ujar Irfan Bachdim ketika berhasil membawa keharuman Bangsa Indonesia itu di lapangan hijau belum lama ini.

Tak dapat dipungkiri, Irfan Bachdim adalah fenomena baru di negeri ini. Sebuah nama yang tidak akan asing bagi penggemar sepakbola negeri ini.Bukan hanya karena “Irfan” yang Indonesia banget tetapi juga nama “Bachdim” yang melekat di belakangnyapun cukup dikenal di-perbolabundaran negeri.Ayahnya, Noval Bachdim merupakan seorang pemain Persema Malang tahun 1980-an.

Oleh karena itu sesungguhnya tidak perlu mempertanyakan nasionalisme seorang bernama lengkap Irfan Harrys Bachdim.Apalagi kalau penulis mencoba mengajak kita semua untuk belajar mencintai Indonesia kepadanya.

Pria tampan dengan tinggi badan 172 cm ini sama sekali bukan warga negara Indonesia tulen, lahir di Amsterdam-Belanda tanggal 11 Agustus 1988.Perjalanan hidup dalam persepakbolaannya pun dimulai di Negeri Kincir Angin, usia belasan tahun masuk dalam klub yunior Ajax Amsterdam, SV Argon dan terakhir di FC Utrecht.Sementara klub senior diawali dari FC Uttrecht yang mentransfernya tanpa biaya ke HFC Haarlem sebelum akhirnya mengikuti jejak sang bapak di Persema Malang.

Kecintaannya pada Ibu Pertiwi sebenarnya sudah lama ingin diwujudkan melalui pengabdian di lapangan hijau.Dua klub besar, Persib dan Persija pernah menolaknya.Bahkan Persija sempat mempertanyakan kewarga-negaraan Irfan Bachdim untuk mendudukkannya dalam administrasi transfer sebagai pemain asing atau pemain local.Sungguh suatu alasan yang tidak perlu digemborkan, bagi sebagian orang bahkan terlalu berbau rasis.

Walaupun begitu, siapa sangka dia dan kekasihnya, seorang model pakaian dalam di Jerman punya rencana akan melanjutkan kehidupannya di Indonesia.Jennifer Jasmine Kurniawan yang tidak lain adalah kakak kandung Kim Jeffrey Kurniawan, pesepakbola kelahiran Jerman yang turut mengharumkan nama Indonesia.

Diantara tingginya nasionalisme para bintang yang lahir di negeri seberang dan penuh tantangan untuk diakui sebagai anak kandung Ibu Pertiwi, banyak diantara kita lupa pada bendera sendiri.Bendera kebangsaan, salah satu identitas bagi setiap bangsa.Sang Saka Merah Putih yang merupakan jati diri Bangsa Indonesia banyak dilupakan anak-anak yang lahir dari rahim Ibu Pertiiwi dan dibesarkan di tanah air bernama Nusantara.

Lihatlah sejenak keluar, di depan kantor pemerintah atau swasta.Berkibarkah Sang saka Merah Putih disana?Apakah warnya merahnya tetap menyala?Tidak luntur, apalagi kusam.Bentuknya tetap utuh sekalipun setiap hari harus melawan terpaan angin dan panas mentari yang kadang berganti dengan guyuran hujan.

Di depan rumah, di pinggir jalan dan beberapa tempat lain banyak dijumpai bendera kebangsaan berkibar bukan sebagai bentuk kecintaan pengibar terhadap bangsanya.Dikibarkan sepanjang hari, siang ataupun malam terus berkibar.Sang pengibar lupa atau melupakan kewajibannya untuk menurunkan Sang Saka Merah Putih ketika waktunya tiba.

Sudah menginjak bulan ke-4 bendera kebangsaan itu berkibar tanpa ada yang peduli.Bahkan pada beberapa kasus, usia berkibarnya lebih tua setahun atau lebih.Sang saka Merah Putih dikibarkan pada saat perayaan hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia setelah itu dilupakan begitu saja.Tidak sedikit pula yang memperlakukan bendera kebangsaan dengan tidak sebagaimana mestinya.

Pada tulisan sebelumnya http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/23/hujan-air-mata-ibu-pertiwi/ penulis mengungkapkan salah satu saja bukti rapuhnya kecintaan terhadap Nusantara sudah berlangsung lama dan dilakukan dengan berjamaah, bukan lagi individual.

Perlakuan kita kepada Sang Saka Merah Putih merupakan salah satu pengejawantahan dari kecintaan kita kepada Ibu Pertiwi.Hal itu menunjukkan seberapa besar kadar cinta tanah air yang melekat di badan.

Tidak perlu bertanya alat ukur apa untuk mengukur rasa cinta tanah air, tetapi tanyakan pada diri sendiri, “Apakah tidak cemburu kepada Irfan Bachdim yang sedemikian mencintai Ibu Pertiwi?”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline