Aku mencoba menahan langkahmu untuk terhenti.
Namun waktu, kau tetap berlari dengan kencang,
Tak peduli pada asa yang menanti.
Setiap harap terbungkus dalam senja,
Cahaya memudar, hilang tanpa suara.
Aku terdiam dalam putaran takdir dan garis tangan,
Menyaksikan mimpi yang mulai mengabur.
Seperti pasir yang terlepas dari genggaman,
Detik-detik itu menghilang perlahan lalu lenyap tak berbekas.
Aku tak mampu mengejar bayangmu apalagi untuk mendekapmu,
Waktu, kau selalu ada sepuluh langkah di depanku.
Dalam hening malam aku bertanya,
Mengapa kau tak bisa kudekati?
Kau tetap melaju tanpa lelah,
Meninggalkanku dalam kenangan yang patah.
Kuhembuskan napas dalam kepasrahan,
Menerima bahwa aku hanyalah penunggu.
Waktu, kau adalah penguasa semesta,
Mengguratkan jejak dalam setiap cerita.
Terkadang kucoba merangkai mimpi,
Namun kau hadir, membawanya pergi.
Menyadarkan aku pada realita,
Bahwa waktu tak bisa kutaklukkan dengan cinta.
Di setiap fajar yang menyingsing,
Aku belajar untuk menerima.
Bahwa dalam ketidakmampuan ini,
Ada kebijaksanaan yang tersembunyi.
Aku akan berjalan bersama bayangmu,
Menghargai setiap detik yang kau beri.
Waktu, meski tak bisa kutaklukkan,
Dalam hadirmu, aku menemukan arti kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H