Pola asuh dan pengembangan karakter peserta didik di era digital
Manusia yang hidup di era digital, dengan tidak dibatasi terhadap kecanggihan- kecanggihan yang ada, sehingga dampak positif maupun negatif ikut juga menaunginya. Akan tetapi, bagi yang memanfaatkan teknologi secara positif, maka teknologi bermanfaat bagi dirinya. Bahkan, dia bukan saja menguasai teknologi, tetapi teknologi tidak bisa untuk menguasainya. Sementara, jika berlebih-lebihan dalam memanfaatkan teknologi, sehingga teknologi membawa dampak negatif baginya, maka dia bukan saja menguasai teknologi, tetapi teknologi juga telah menguasainya, bahkan telah merubahnya menjadi monster yang menakutkan.
pola komunikasi sama juga halnya dengan tipe pola asuh orangtua, baik otoriter, demokratis maupun permisif. Namun, dari beberapa pengamat penulis, bahwa ketiga pola asuh ini perlu disinkronisasikan sesuai dengan situasi dan kondisi perilaku. anak. Karena, sebagai selaku orangtua, tidak hanya menekankan pada satu pola asuh, tetapi harus menggunakan ketiga pola asuh tersebut. Oleh karena itu, urgensi mendidik anak di era digital, sebagai selaku orangtua, wajib mengetahui perkembangan anak. Pola asuh otoriter diberlakukan kepada anak sesuai dengan situasi dan kondisi yang diperlukan. Orangtua berhak untuk memberikan kebebasan sebagaimana pola asuh permisif tetapi dalam hal negatif, sehingga ketiga pola asuh ini, baik otoriter, permisif dan demokratis masing-masing bekerjasama terhadap dampak yang dihasilkan oleh teknologi, misalnya jika pada waktu anak sedang belajar, maka orangtua mengontrolnya dengan sebaik mungkin, agar dalam kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh anak.
Anak pada tahap ini, maka tipe pola asuh orangtua adalah sinkronisasi antara otoriter, demokratis dan permisif. Tipe otoriter digunakan oleh orangtua pada saat anak mulai bertingkah, misalnya pada saat anak minta belikan sesuatu tetapi orangtua tidak mempunyai uang, maka orangtua sudah mulai keras dengan anaknya. Setelah anak mulai mematuhi ucapan orangtuanya dan tidak ngotot untuk meminta belikan barang tersebut, maka pada saat malam orangtua menerapkan tipe pola asuh permisif. Orangtua menjelaskan hal-hal yang positif kenapa orangtua tidak membelikan kemauan anak, agar pikiran anak terbuka. Jika, sebagai orangtua hanya diam tanpa memujuk anak, nanti anak akan dendam kepada orangtuanya, sehingga tipe demokrasi orangtua kepada anaknya ikut juga diterapkan pada situasi kondisi ini. Sementara, anak pada tingkat konvensional dengan umur 10-13 memerlukan teladan dari orangtuanya. Disaat anak ingin bermain dengan orangtua, maka sebagai orangtua meluangkan waktu untuk bermain dengan anak, bukan sebaliknya, yakni orangtua hanya disibukkan dengan pekerjaan dan teknologi. Tahap demi tahap tipe pola asuh yang diberikan kepada anak, maka anak sudah terbiasa dengan didikan orangtuanya dalam lingkungan keluarga, sehingga anak di saat berada di lingkungan masyarakat atau anak sudah sampai pada tingkat pasca konvensional, maka anak tidak terpengaruh dengan gejolak sosial di lapangan masyarakat. Misalnya, anak melihat temannya bermain telepon pintar, maka anak yang telah dididik dengan tipe pola asuh sinkronisasi mengetahui dampak dari teknologi yang dimainkan oleh temannya, sehingga anak tidak mempunyai niat untuk meminta belikan barang-barang teknologi tersebut yang dimiliki oleh temannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H