Lihat ke Halaman Asli

Dinnaya Mahashofia

Mahasiswi Ekonomi Pembangunan di Universitas Airlangga

Transisi Kendaraan Listrik sebagai Solusi Emisi di Indonesia

Diperbarui: 19 Juni 2024   22:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar: Transisi Kendaraan Listrik Sebagai Solusi Emisi di Indonesia (Unsplash.com)

Peningkatan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari tahun ke tahun mendorong transisi kendaraan listrik di berbagai lapisan dunia. Kehadiran kendaraan sustainable ini dinilai efektif mengurangi pencemaran udara. Meskipun agenda ini didukung oleh kebijakan pemerintah, terdapat kelebihan dan kekurangan yang perlu dipertimbangkan. 

Apa itu Emisi Gas Rumah Kaca? 

Emisi gas rumah kaca merupakan kumpulan gas beracun yang dihasilkan dari proses penggunaan energi dan menetap di atmosfer bumi, gas-gas tersebut di antaranya adalah gas karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan dinitrogen oksida (N2O). Salah satu yang paling sering dipantau perkembangannya adalah karbon dioksida karena banyak penelitian yang menjadikannya sebagai indikator degradasi lingkungan. Semakin tinggi tingkat CO2 suatu daerah, semakin buruk kualitas udaranya (BPS, 2023). 

Dilansir dari European Commission, volume emisi gas rumah kaca Indonesia pada 2022 mencapai 1.240,8 juta ton, yakni setara dengan 2,3% dari total  emisi  gas  rumah  kaca  global dan merupakan yang terbesar di Asia Tenggara. Kondisi ini menekan Indonesia untuk meningkatkan kesadaran dan aksi nyata untuk mengurangi GRK, salah satu usaha yang bisa dilakukan adalah dengan transisi kendaraan konvensional ke kendaraan listrik. 

Apakah Transisi menuju Kendaraan Listrik Mengurangi Emisi GRK?

Ide dasarnya, penggunaan kendaraan listrik akan mengurangi polusi udara akibat transportasi karena kendaraan ini tidak membutuhkan bahan bakar minyak bumi untuk bekerja sehingga tidak akan mengeluarkan gas emisi karbon. Tidak hanya itu, kendaraan listrik juga dinilai mengurangi polusi suara mengingat mesinnya tidak mengeluarkan suara keras seperti kendaraan konvensional. 

Sayangnya, listrik di Indonesia masih bergantung pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang memperoleh energi dari pembakaran batu bara. Dari sudut pandang ini, transisi dari kendaraan konvensional ke kendaraan listrik terdengar seperti sekadar memindahkan sumber polusi dan bukannya menghilangkan polusi itu sama sekali. 

Menurut laporan Neraca Arus Energi dan Neraca Emisi Gas Rumah Kaca Indonesia yang dirilis oleh BPS 2023 lalu, Lapangan Usaha Pengadaan Listrik dan Gas merupakan lapangan usaha penyumbang emisi CO2 terbesar di Indonesia selama periode tahun 2017-2021. Lapangan usaha ini menyumbang lebih dari 50% dari total emisi CO2 seluruh lapangan usaha dan cenderung mengalami kenaikan setiap tahunnya. Sedangkan, emisi akibat transportasi justru enam kali lipat lebih rendah. 

Berangkat dari data tersebut, jika Indonesia menggalakkan penggunaan kendaraan listrik, kemungkinan besar tidak akan ada perubahan berarti pada tingkat emisi karbon karena peningkatan konsumsi listrik hanya akan menambah polusi akibat PLTU yang justru menghasilkan emisi karbon dua kali lipat lebih banyak dari polusi udara biasa. 

Jika dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Norwegia dan China yang sukses mengganti lebih dari 80% kendaraan konvensional dengan kendaraan listrik, mereka menggunakan tenaga listrik terbarukan yang tidak mencemari lingkungan sehingga agenda transisi kendaraan listrik mereka berdampak signifikan bagi penurunan GRK.

Transisi menuju kendaraan listrik tidak akan menjadi solusi optimal selama Indonesia masih bergantung pada pembakaran batu bara sebagai sumber energi. Maka, agenda transisi ini perlu diikuti dengan penggunaan sumber energi terbarukan dan ramah lingkungan supaya tujuan utama untuk mengurangi emisi gas rumah kaca bisa tercapai. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline