Lihat ke Halaman Asli

Di Satu Hujan yang Lain

Diperbarui: 24 Juni 2015   16:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di kotaku, hampir tiap malam turun hujan

Dingin, mengingatkan akan kamu. Kamu yang memberi teduhan. Kamu yang memberi pelukan. Kamu yang memberi ketenangan.

Bersama kamu, gundah tak pernah singgah. Di sisi kamu, amarah berhujung gairah. Kamu kerap memberikan kedamaian, meski sering pula menciptakan kepahitan.

Masih ingatkah kamu malam itu, di satu hujan yang lain kita pernah bertengkar hebat? Kamu berteriak garang di tengah hujan yang tumpah. Rasanya sangat perih. Saking perihnya, hingga dingin hujan tak lagi terasa menusuk tulang. Aku tak tahu apa yang salah. Kamu meracau begitu saja seolah-olah aku telah berbuat dosa besar.

Langit hitam, semilir angin, tanah basah, aroma hujan, ranting pohon, rerumputan, berkata bahwa aku tak ada cela. Seluruh alam satu suara, membela. Tidakkah kala itu kamu mendengar mereka? Kemana janji saling percaya kamu bawa?

Genangan air di pelupuk mataku jatuh perlahan bersama titik hujan. Mungkin saat itu kamu lihat. Segera aku palingkan muka. Membalikkan badan, hendak meninggalkan kamu bersama amarah yang menembus jangat. Lantas kamu berlari ke arahku.

Malam itu, di satu hujan yang lain, kamu bersimpuh di kakiku. Memegangnya erat seraya menangis kencang. Persis anak kecil yang tak diberi jajan. Lirih kamu berkata: aku cemburu

Pluto, 2031




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline