Lihat ke Halaman Asli

Feature Human Interest: Kerikil Tersembunyi, di Balik Jalan Skripsi

Diperbarui: 2 September 2024   22:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Picture Taken by Dinissa Azhari

“Kendala utama seorang murid itu bukanlah kurangnya kecerdasan tapi masalah psikologi,” kutipan Maryam Qonita, sosok Influencer Inspirator, masih mengakar hebat di dalam jiwa Anisa Mumtaz.

Sebelum menjadi sarjana Pendidikan Agama Islam di Universitas Syarif Hidayatullah, Jakarta, Mumtaz merupakan mahasiswa tingkat akhir yang sempat tersandung kerikil di balik jalan skripsi. Melangkahi setiap tanjakan, guncangan, sandungan, tak ayal membuatnya harus lulus di semester ke 12, tentu setelah ia berhasil melewati lingkar benang kusut dalam pikiran.

Perempuan itu bercerita banyak mengenang perjuangannya sebagai mahasiswa tingkat akhir. Tak mudah memang. Faktor utama dalam mengerjakan skripsi tak luput dari masalah manajemen waktu, membangun mood sampai motivasi. Kelihatan simpel namun punya dampak besar. Mumtaz merupakan anak dari seorang pengusaha ayam bakar, Warung sederhana yang ramai dikunjungi pembeli dari berbagai usia. Selama akhir semester di tengah pandemi, Mumtaz kerap membantu berjualan, “Setiap hari aku bantuin Umi di warung dari Siang sampai Maghrib atau sampai nutup warung sekitar jam 11 atau jam 12 malam,” ujarnya.

Perempuan itu selalu berencana mengerjakan skripsi usai kembali dari warung. Namun, saat sampai rumah, benda canggih persegi panjang miliknya atau yang dikenal Handphone yang justru disentuh dan dimainkan ‘lagi’. berencana bangun malam demi skripsi namun kebablasan tidur. Ketika pagi menjelang, ia kembali memejamkan mata saat kantuk menyerang usai tidur malam, dan akan tetap tidur walau tidak mengantuk. 

“Kadang walaupun pagi enggak ngantuk pun tetap tidur karena nggak ada motivasi dan semangat untuk bangun dari tempat tidur,” ungkap Mumtaz. Diselingi omelan kedua orangtua, dengan pola hidup yang terus terulang seperti itu, Mumtaz merasa lelah sendiri, “Akhirnya kesehatan mentalku agak terganggu karena planning-planning yang gak kunjung dilaksanain,” katanya.

Sampai dimana, Mumtaz bertemu waktu luang untuk mengerjakan skripsi, sekaligus menemukan titik ‘stuck’, “Gak bisa berpikir apa yang mau dikerjakan, terus overthinking sama skripsi yang gak tau benar salahnya, merasa loneliness.” Mumtaz merasa tak bisa mengganggu teman-temannya yang sudah terlihat sibuk dengan aktivitasnya, bahkan untuk sekedar bertanya perihal kesulitannya. Perempuan itu hanya mematung di hadapan layar laptopnya, “Akhirnya berujung ke drakor (drama korea), berharap bakal ada ilham yang muncul, tapi semakin mengganggu dari segi waktu,” ujarnya. 

Namun demikian, Mumtaz mengakui hal tersebut sedikit membantu dari segi kesehatan mental yang membuatnya semangat atau merasa sedikit lega. Dari sini, ia pada akhirnya menerapkan dan memutuskan untuk menonton kajian-kajian yang dapat menentramkan hati dan jiwa, membiasakan diri bercerita dengan Allah sehabis sholat.

Tekanan batin itu menjadi, ketika kedua orangtua Mumtaz mulai bertanya dengan berulang, “Kapan lulus?” tak lupa tekanan-tekanan yang datang dari sekitar, dengan berbagai ucapan yang mengundang overthingking. “Sampai di titik pikiranku selalu menyalahkan keadaan,” Mumtaz lelah dengan pikiran buruknya. Di tahap ini, Mumtaz sampai pada kehilangan fokus dalam bekerja melayani pelanggan di warung Umi-Abinya, “Entah salah saat menghitung uang atau ketika melayani pesanan,” ucap Mumtaz. Pada akhirnya menjadi sebuah omelan ketika kesalahan tersebut terus terulang. Menjadikan Mumtaz tak jarang menangis tanpa sepengetahuan kedua orangtuanya.

‘Satu Persen’, Mumtaz dikenalkan dengan channel Youtobe tersebut oleh salah satu temannya yang berbaik hati sempat menanyakan kabarnya di saat ia hilang arah. Channel tersebut membahas tentang psikologi. “Kutontonlah satu-satu yang ternyata relate banget sama apa yang aku alamin,” ucapnya. 

Mumtaz memutuskan untuk memulai konsultasi dengan mentor yang berada di ‘satu persen’. Saat itu, mulai ada harapan-harapan baru dan titik bangkit. “Ternyata aku cuma butuh mengeluarkan unek-unek yang ada di pikiranku. Dari konsultasi itu, aku menulis keluh kesahku, terus dikasih saran dan ilmu tentang yang aku alamin,” ujarnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline