Beberapa waktu lalu saya menghadiri workshop menulis yang diadakan oleh Ribut Rukun. Satu yang paling saya ingat adalah pernyataan Bapak Wahyu Pramudya, atau yang akrab disebut dengan Pak Wepe tentang konten-konten di internet. Dikatakan bahwa di internet saat ini banyak bertebaran konten-konten negatif, terutama di peringkat-peringkat teratas mesin pencarian Google. Ribut Rukun dibangun dengan misi mengatasi masalah tersebut, yaitu dengan berfokus pada cara agar konten-konten positif yang dibuatnya bisa meraih peringkat atas dan terbaca duluan. “Wah, ini sejalan dengan misi saya!”, pikir saya waktu itu. Bahagia sekali rasanya ada orang-orang yang berpikiran serupa.
Sudah lama saya merasa, selama ini hal-hal yang ilmiah/ilmu pengetahuan itu terlalu eksklusif dan sulit diakses oleh masyarakat umum. Karya ilmiah atau hal-hal bermanfaat itu hanya beredar di seputar kampus atau kalangan tertentu. Beberapa dirupakan dalam bentuk buku (buku ditulis oleh seorang ahli tertentu) itupun kemungkinan hanya diketahui dan dibaca oleh orang yang masih berhubungan, misalnya buku tentang medis dibaca oleh orang kedokteran. Sementara masyarakat zaman sekarang, terutama yang awam (dalam ilmu tertentu) cenderung lebih suka mencarinya sendiri di internet. Anak-anak SMP, SMA, dan orang-orang kebanyakan akan mencari sendiri apa-apa yang dibutuhkannya melalui media online itu. Selain karena praktis, lebih irit dan aman/nyaman terutama jika menyangkut hal-hal yang tabu, pribadi, atau rahasia. Meskipun sudah ada berita-berita online, aplikasi, maupun forum konsultasi yang jelas dikelola oleh ahlinya tetapi itupun minim dan terbatas. Misalnya forum konsultasi, tidak jelas berapa lama baru akan dibalas oleh konsultan tersebut.
Ketika saya kemudian prihatin dengan maraknya kasus LGBT dan beberapa kasus lain di Indonesia dan dunia, betapa terkejut saya karena konten-konten negatif keberadaannya lebih mendominasi. Selain berada di urutan atas, lebih banyak penelitian dan berbagai aktivitas pro LGBT yang disebarluaskan/diangkat (di-blow up). Beritanya tidak berimbang. Mencari yang kontra sangat sulit, apalagi yang isinya bisa menjawab segala rasa ingin tahu dari mereka yang mulai ada kecenderungan ke arah sana (menjadi LGBT). Ditambah lagi dengan bahasanya yang “berat”, menyebabkan tidak semua orang bisa mencernanya dengan baik. Akhirnya, mereka yang galau-galau dengan identitasnya tadi tetap bingung. Jika dalam kondisi demikian sugesti pro LGBT masuk disertai dengan berbagai argumen penguatnya, hal itu bisa membuat mereka terjun menjadi LGBT “penuh”.
Kasus semacam ini tidak hanya terkait dengan LGBT. Beberapa masalah sosial yang saya temukan juga demikian. Saya pun kemudian melakukan riset mendalam dan membuat tulisan di blog tentangnya. Tulisan yang isinya berusaha menjawab semua pertanyaan umum mereka. Ajaib. Para LGBT banyak yang masuk, terutama dari luar negeri. Rata-rata mereka mengatakan bahwa apapun yang dicari masuknya ke blog saya. Saya memang sengaja menulis panjang dan sedetail mungkin (dalam batas panjang tulisan di blog yang mudah-mudahan masih nyaman dibaca) untuk menghindari pertanyaan lebih lanjut. Dari respon yang masuk umumnya mereka senang karena jadi tahu dan merasa terbantu. Lalu dengan sukarela mengajak teman-temannya yang lain, menyebarluaskan, atau mendiskusikannya.
Satu yang saya percaya waktu itu. Ketika saya melakukan riset tulisan, banyak dari mereka yang sebenarnya ingin berubah, tetapi tidak mampu/tidak tahu caranya. Karena hal ini juga termasuk tabu, maka carinya di internet. Lalu masuklah mereka ke blog saya dan semuanya berkomentar sebagai anonim, sebagai bukti bahwa sebenarnya mereka tahu kalau pilihan hidupnya itu salah. Saya pun merasa bersyukur bisa membuat mereka tercerahkan. Dengan pemikiran yang menjadi terbuka (benar), Insya Allah mereka akan berikhtiar mencari jalan kesembuhan sendiri.
Seandainya tulisan-tulisan yang ilmiah dan bermanfaat bisa diakses umum seperti di atas, menurut saya kemanfaatannya akan lebih besar daripada bersifat eksklusif. Blog sendiri merupakan salah satu bentuk dari media sosial selain Facebook, Twitter, Youtube, Whatsapp, BBM, LinkedIn, Flickr, Instagram, dan sebagainya. Dalam kasus saya tadi, agar dapat menjangkau kalangan yang lebih luas, postingan blog yang memuat hal tersebut kemudian saya bagikan ke Facebook, Twitter, maupun Google Plus.
Jika diamati dengan saksama, baik blog maupun media sosial lain yang ada saat ini banyak yang isinya kurang berkualitas. Orang hanya mengeluh dan mengkritik tanpa memberikan solusi, dan tidak ditujukan pada orang yang tepat. Banyak juga yang hanya berdebat. Belum lagi dengan adanya berita hoax, fake news, bias, copas/plagiasi, kecenderungan untuk sekadar berbisnis/mencari jaringan, serta membuat konten-konten yang bermuatan tidak netral/tidak jujur (baik itu lomba, artikel berbayar, iklan, atau lainnya) membuat keberadaan konten-konten yang jujur, bermanfaat, dan berkualitas mutlak diperlukan. Karena sudah semakin langka. Kalau dulu testimoni misalnya bisa dipercaya keasliannya, sekarang susah karena apa-apa sudah dibayar.
Itulah mengapa di dalam media sosial diperlukan konten yang berkualitas. Jangan dipikir hanya status, notes FB, tweet, tulisan di blog, atau semacamnya itu tidak berpengaruh apa-apa! Pengaruhnya sangat besar. Bisa menyebabkan perundungan, tidak percaya diri, iri dan dengki, pencemaran nama baik, meluasnya tren yang tidak baik, perselingkuhan, bahkan kehancuran negara.
Dalam kasus LGBT ini misalnya, dengan konten yang tepat diharapkan bisa mencegah bertambahnya lagi kaum LGBT di Indonesia. Bahkan, kalau bisa malah menguranginya. Harapannya, penurunan jumlah LGBT tersebut membuat ketahanan keluarga meningkat. Keluarga menjadi normal, yang pria menikahi wanita pun sebaliknya yang wanita menikahi pria. Perubahan yang seolah kecil tadi akan berimbas kepada kesehatan mental dan fisik yang lebih baik, penurunan angka penggunaan narkoba dan pornografi, pembangunan manusia yang lebih berdaya, orang-orang yang lebih berkualitas, penurunan angka kejahatan dan sodomi, peningkatan keamanan masyarakat, hubungan yang lebih baik, dan lain-lain. Mereka yang mungkin telah menikah dengan lawan jenis (untuk sekadar status) pun bisa kembali mengokohkan ikatannya dengan ikatan pernikahan yang sebenarnya (memutuskan pasangan LGBT-nya). Anak-anak tidak perlu bingung dan labil mengapa punya 2 ayah (tanpa ibu) atau 2 ibu (tanpa ayah), karena mereka (orangtua yang LGBT tadi) telah terengkuh untuk kembali ke jalan yang benar.
Jadi, konten yang berkualitas di dalam media sosial bisa meningkatkan ketahanan keluarga. Jangan pernah berpikir bahwa itu sekadar tulisan, karena setiap perbuatan kita akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Tuhan!