Tidak dapat dipungkiri, guru merupakan profesi yang mulia. Jasanya tidak bisa diukur dengan materi begitu saja. Guru berperan dalam mendidik generasi yang cerdas dan berakhlak mulia, serta penting dalam pemberdayaan dan pembelajaran bangsa. Oleh karena itu, hakikat seorang guru tidaklah sebuah profesi yang mengajarkan materi pelajaran saja, namun seorang guru mengemban tanggung jawab yang besar dalam mencetak generasi-generasi penerus bangsa. Meskipun tugas seorang guru adalah mengajar, bukan berarti guru sudah tidak perlu belajar. Seorang guru harus mampu mengikuti segala perkembangan di dunia pendidikan. Menjadi guru adalah menjadi pengajar dan pembelajar. Segala tingkah dan perilaku guru akan menjadi inspirasi bagi muridnya. Dalam filosofi Bahasa Jawa, guru memiliki makna "digugu lan ditiru". Maksud digugu adalah segala perkataan dan perbuatannya harus bisa dipertanggungjawabkan, sedangkan ditiru berarti setiap sikap dan perbuatannya pantas untuk dijadikan sebagai tauladan.
Meskipun tanggung jawab dan perannya yang besar dalam membentuk masa depan bangsa, namun sampai saat ini guru sering kali tidak dihargai sebagaimana mestinya dalam hal konpensasi finansial. Masih banyak guru di Indonesia yang kesejahteraannya belum tercukupi karena rendahnya gaji mereka, terutama guru honorer. Bahkan direktur pembinaan guru Kemendikbud, Anas Adam, juga enggan menampik perihal kecilnya gaji guru honorer di beberapa wilayah di Indonesia. Anas mengungkapkan bahwa angka besaran gaji mutlak tergantung dari anggaran belanja APBD di masing-masing daerah.
Selain mendapati gaji yang kurang layak, guru juga seringkali mendapati tantangan lain dalam melaksanakan tugasnya, seperti infrastruktur dan fasilitas yang kurang memadai ketika ditugaskan diwilayah terpencil, hingga mengalami pengusiran karena adanya metode cleansing maupun kebijakan daerah yang tidak membuka kuota seleksi PPPK. Guru juga kurang mendapatkan perlindungan hukum yang memadai meskipun terdapat undang-undang guru dan dosen yang melindungi secara profesi tugas seorang guru saat melaksanakan pembelajaran dalam kelas, namun sampai saat ini masih saja banyak guru yang di kriminalisasi karena berbagai unsur seperti kesalahpahaman antara wali murid dan peraturan sekolah.
Sebagaimana kasus yang menimpa Supriyani, seorang guru honorer SDN 4 Baito, Kabupaten Konawa Selatan, Sulawesi Tenggara, yang menyita perhatian publik karena guru yang telah mengabdi selama 16 tahun itu dituduh memukul siswa beriniaial D (6) yang merupakan anak seorang polisi di Polsek Baito.
Dalam kasus ini, filosofi guru yang seharusnya digugu lan ditiru seketika berubah menjadi digugat dan diburu. Kejadian itu bermula ketika siswa (D) memiliki luka goresan di paha yang kemudian melaporkan ke orang tuanya bahwa dia dipukul oleh gurunya, padahal Supriyani hanya menegur dan tidak memukul, namun orang tuanya tetap tidak terima.
Dengan maksud agar tidak memperpanjang permasalahan tersebut, Supriyani didampingi kepala sekolah mendatangi rumah siswa untuk meminta maaf. Namun karena orang tua siswa seorang polisi, permintaan maaf Supriyani dianggap mengakui kesalahan dan kemudian pihak keluarga siswa diam-diam melaporkan kasus tersebut dijalur hukum. Hingga pada akhirnya Supriyani mendapat panggilan dari polda.
Kuasa hukum Supriyani, pihak LBH Himpunan Advokat Muda Indonesia (HAMI) menyebut terdapat banyak kejanggalan dalam kasus ini. Pada hari kejadian yang dituduhkan, Supriyani berada di kelas yang berbeda dengan anak pelapor karena Supriyani bukan merupakan wali kelas siswa D. Tuduhan penganiayaan yang terjadi pada pukul 10.00 juga tidak dibenarkan LBH mengingat dijam tersebut seluruh siswa sudah pulang. Selain itu, dalam dakwaan pihak kejaksaan, anak pelapor disebut dipukul sebanyak satu kali dengan sapu. Sementara berdasarkan kesaksian guru lain yang melihat langsung kondisi siswa tersebut, terlihat seperti luka melepuh dan bukan seperti bekas luka pukulan.
Kasus Supriyani merupakan contoh betapa rentannya profesi guru saat ini, termasuk guru honorer. Selain harus memenuhi tanggung jawab mengajar yang besar, seorang guru juga harus siap berhadapan dengan resiko hukum yang terjadi. Seorang guru sudah semestinya mendapatkan perlindungan ketika melakukan proses belajar mengajar sebagaimana amanat peraturan Kemendikbud 10/2017 pasal 2 sampai 4. Esti Wijayanti, wakil ketua komisi X DPR RI mengatakan bahwa saat ini beban guru sangatlah berat dan banyak tantangan, karena guru kurang memiliki power untuk memberikan pembinaan kesiswa dalam bentuk disiplin karena fenomena reaksi orang tua yang sedikit-sedikit membawa masalah keranah hukum.
Sekarang ini, guru menjadi kurang memberikan pendidikan disiplin kepada anak yang melakukan pelanggaran karena takut dikriminalisasi. Akibatnya, banyak siswa yang kurang menaruh rasa hormat dan sopan santun kepada guru. Dalam kasus seperti ini, orangtua seharusnya tidak melakukan intervensi terus-menerus karena guru akan merasa terancam dan kurang tenang dalam menjalankan tugasnya. Diperlukan keseimbangan antara orang tua dengan guru dalam sistem pendidikan. Setiap guru harus memiliki hak untuk mendidik dan mendisiplinkan siswanya, sedangkan orang tua tetap memiliki hak untuk melindungi anak-anak mereka, karena dalam membangun karakter yang baik diperlukan kolaborasi yang baik antara seluruh pihak. Disisi lain, pemerintah seharusnya meningkatkan kesejahteraan guru terutama guru honorer. Beratnya beban kerja serta besarnya tanggung jawab dan resiko yang dihadapi guru seharusnya mampu membuka mata hati kita semua untuk selalu memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan serta kehidupan yang layak bagi seorang guru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H