Jangan negatif thinking dulu dunk, kerah putih yang saya maksudkan bukan kejahatan kerah putih, Tetapi saya gunakan ini hanya untuk melambangkan profesional, atau pengusaha pengusaha yang tiba tiba berperan dalam satu partai politik dan mempunyai posisi penting, tanpa melalui proses kaderisasi.
Mereka adalah orang orang yang identik dengan pakaian trendy, dengan aroma parfum yang mahal, dan penghasilan di atas rata rata. berbekal kemampuan negosiasi dan relasi serta dukungan media, mereka mampu masuk di jajaran elit partai tanpa harus melewati proses rekruitmen dan kaderisasi lebih dahulu.
Berkat kemampuan finansial dan strategi yang matang, serta penampilan yang keren dan lebih menarik dari politisi yang memang berjuang melalui kaderisasi, mereka mampu masuk dan mendominasi media massa, dengan manajemen kreatif, mereka mengarahkan opini di jejaring sosial yang mampu membuat lonjakan popularitas pada diri mereka secara terus menerus.
Kaum Politis kerah putih ini dengan penampilan yang menarik dan berlatar belakang kaum professional dengan karya-karya mereka lebih menarik simpati dibandingkan politisi asal muasal partai mereka, kecenderungan gejala sikap pemilih perkotaan yang lebih tertarik menjatuhkan pilihan kepada kaum professional, daripada mereka yang berlatar belakang politisi saat ini semakin menggejala dibanyak tempat.
Hal ini adalah fenomena yang sedang terjadi dalam wilayah politik Indonesia, mungkin inilah gejala pemberontakan pemilih perkotaan atas kader-kader yang lahir dari partai rahim politik sedang terjadi Publik perkotaan mungkin sedang begitu jenuh melihat para politisi yang menurut mereka cenderung retoris tanpa bisa menunjukan karya kongkrit mereka.
Lalu timbul pertanyaan dalam hati untuk apa ada kaderisasi dan rekrutmen partai ? Jika toh pada akhirnya mereka yang tanpa melalui kaderisasi partai dan memiliki kejelasan akan kesamaan visi ideologis garis kepartaiaan, akan dengan mudah menduduki posisi sterategis dan dicalonkan menjadi capres, gubernur, walikota sampai bupati ?
Inilah masalah besar yang terjadi di partai partai politik di Indonesia, di mana kader kader elitnya dengan mudah loncat atau pindah partai, atau orang yang lebih mengenalnya sebagai seorang oportunist. Hal itu karena kurangnya integritas atau rasa cinta pada ideologi dari partai yang menaungi mereka ,sehingga tidak dipungkiri bila terjadinya korupsi korupsi yang terjadi di DPR atau pun pejabat negara yang berasal dari partai politik hanya kurang melekatnya rasa memiliki terhadap partai di mana mereka bernaung. Bukan itu saja kehadiran diri mereka yang mampu menggeser tokoh senior itu mampu membuat perpecahan dalam internal partai tersebut.
Untuk mengatasi ini, maka partai politik harus bebenah dalam reformasi kelembagaan internal kepartaian, Partai sudah harus mulai merencanakan kaderisasi dengan sistem rekruitmen dengan fair. Bahwa yang paling berjasa dalam membangun partai tersebut haruslah menjadi pemimpin dan duduk di petinggi partai. Dan mulai saat ini partai partai politik harus mampu membatasi diri dalam menerima politisi politisi yang ingin berpindah partai, untuk mendapatkan politisi politisi yang jujur, yang mampu mengangkat nama baik partai dengan kinerja dan fokus untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, daripada mengusung seorang politisi yang berbekal elektabilitas dan cenderung karbitan yang pada akhirnya membuat hancur nama partai karena ulah mereka yang tak mempunyai kecintaan pada partai yang baru dinaunginya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H