Lihat ke Halaman Asli

Menimbang Kembali Dampak dan Efektivitas Sistem Hukum dalam Mengatasi Kasus Korupsi di Indonesia

Diperbarui: 19 Juni 2024   23:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Menimbang Kembali Dampak dan Efektivitas Sistem Hukum dalam Mengatasi Kasus Korupsi di Indonesia


Korupsi adalah penyimpangan atau penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat negara atau pejabat-pejabat politik dengan memakan uang negara baik dalam suatu perusahaan, organisasi, yayasan, maupun dalam institusi lainnya keuntungan pribadi atau personal. Sedangkan menurut M.Mc mullan korupsi adalah suap yang dilakukan oleh pejabat negara terhadap pejabat negara lainnya untuk melakukan perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan (Martiman prodjohamidjojo : 9). Menurut ICW (Indonesia Corruption Watch) pada tahun 2022 terdapat 252 kasus dengan 612 orang  tersngka yang merugikan negara hingga 33,665 triliun rupiah . Tindak pidana korupsi berdampak buruk terhadap kehidupan masyarakat, terutama dalam sektor perekonomian, kesejahteraan, dan kemajuan dan  pelayanan publik suatu negara.

Tindak pidana korupsi disebabkan karena adanya kesempatan, keserakahan, desakan kebutuhan, serta adanya pengungkapan ( jack bologne gone theory). Kurangnya pengawasan dari berbagai pihak serta adanya kesempatan yang luas membuat seseorang dengan mudah melakukan tindak pidana korupsi selain itu desakan kebutuhan membuat seseorang tidak berpikir dua kali untuk melakukan tindakan yang merugikan perekonomian negara serta menyebabkan merosotnya tingkat kesejahteraan masyarakat indonesia akibat dari keserakahan dan pengungkapan hak atas kewenangan dalam lingkungan politik.

Suatu perbuatan dianggap sebagai tindak pidana korupsi apabila dalam perbuatan tersebut adanya korporasi yang bertentangan dengan hukum untuk keuntungan pribadi perekonomian bangsa. Tindak pidana korupsi menyebabkan lemahnya sistem ekonomi dan investasi negara Indonesia yang menyebabkan merosotnya produktivitas sistem produksi dan pengembangan kapasitas industri yang menurunkan kualitas barang dan jasa serta menyebabkan resesi anggaran untuk pembangunan infrastruktur. Tidak hanya itu kasus tindak pidana korupsi juga menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat kepada aparat penegak hukum yang tidak konsisten terhadap pemberian hukum tindak pidana korupsi yang secara tidak langsung menguatkan autokrasi dan hilangnya kedaulatan rakya karena kekuasaan hanya dimiliki oleh sekelompok orang yang memiliki kekuasaan. Korupi juga melemahkan sistem pertahanan dan keamanan bangsa Indonesia karena lemahnya kedaulatan negara yang tidak difasilitasi dengan baik.

Dalam UU No. 20 pada Tahun 2001 dijelaskan bahwa kasus penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan serta penyuapan (korupsi) dikenai sanksi ganti rugi (denda) senilai 200 juta rupiah bahkan 1 milyar rupiah, serta kurungan penjara sekurang-kurangnya empat tahun penjara dan kurungan penjara maksimal 20 tahun penjara, bahkan hukuman seumur hidup . Namun hukuman tindak pidana korupsi di Indonesia terkesan mudah memaafkan, memberikan keringanan hukuman yang menunjukan ketidaktegasan aparat penegak hukum yang sehurusnya ikut aturan hukum, dan menunjukkan kesenjangan hukum dimana pejabat-pejabat negara mendapatkan diskon pemotongan masa tahanan. Semestinya pejabat publik yang terikat sumpah, aturan, dan dibayar dari pajak rakyat harus mendapat sanksi hukum yang sesuai dengan pelanggaran hukum yang mereka lakukan. Trend toleransi terhadap koruptor menyebabkan tidak adanya efek jera sehingga para pejabat mengulangi kesalahan yang sama.

Ekosistem politik di Indonesia sangat mudah menyerongkan pejabat kedalam lembah hitam yang menghisab jiwa-jiwa bersih sekalipun. Begitu banyak wacana untuk memberikan hukuman mati terhadap koruptor di Indonesia karena tidak memadainya instrumen pencegah dan ancaman tindak pidana korupsi. Maraknya pemotongan masa tahanan oleh MA terhadap koruptor yang mengajukan kasasi yang tidak dianggap sebagai gratifikasi namun sebagai kemurahan hati yang membuat samarnya batasan antara sanksi dan kasasi. Seharusnya pejabat negara yang mengajukan kasasi harus mendapat hukuman yang dilipatgandakan karena telah melanggar integritas dan profesionalitas aparatur negara yang seharusnya melaksanakan tugas pelayanan dan pemberdayaan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.                                                                                                  

Pemangkasan masa tahanan untuk para koruptor tidaklah pantas untuk dilakukan karena berdasarkkan Pasal 52 KHUP untuk seseorang yang memiliki jabatan atau pejabat publik melakukan praktik korupsi atau kejahatan hukuman yang diberikan harusnya diperberat sepertiga bukan justru dikurangi seperti yang kita lihat pada saat ini. Tak jarang masyarakat tidak bisa menerima logika dari keputusan itu sehingga wajar masyarakat mengkritik kesenjangan hukum tersebut. Seharusnya ketua KPK memberi kritikan terhadap pemotongan masa tahanan karena sekalipun hal itu adalah pemberian kasasi namun hal tersebut tetaplah praktik korupsi yang berasal dari pejabat publik, dan lingkungan politik. Sehingga pengawasan, peran para akuntan, penegakkan aturan, serta pemberian sanksi yang tegas harus dilakukan KPK untuk memberi efek jera kepada pelanggar hukum.

Ada beragam jenis tindak pidana korupsi yang ada di Indonesia diantaranya disceretionery corruption yaitu penyalahgunaan kebebasan hak dalam membuat suatu kebijakan yang dilakukan dengan sengaja oleh aparatur-aparatur pemerintahan dan suatu organisasi tertentu, illegal corruption yaitu tindak pidana koripsi dengan tujuan untuk menghancurkan aturan-aturan , prinsip-prinsip, regulasi dan peraturan hukum, mercenary corruption merupakan tindak pidana terkait korupsi yang menyalahgunakan jabatan atau kewenangan untuk kepentingan pribadi, dan electoral corruption yang merupakan tindak pidana korupsi dengan pembelian suara menggunakan janji jabatan dalam penempatan pemerintahan dengan khusus maupun paksaan.

            Menimbang adanya perbedaan hukuman yang mencolok antara koruptor yang satu dan karuptor lainnya maka diperlukan aturan yang mengatur pempidanaan koruptor dengan hukuman seumur hidup sehingga tidak ada kesenjangan hukuman tidak pidana korupsi di indonesia. Namun, dengan adanya sejumlah tindakan merevisi Undang-Undang Komisi Pemberantas korupsi yang melemahkan agenda pemberantasan korupsi serta adanya manufer politik yang dilakukan oleh elit politik yang merasa kepentingannya terganggu oleh aturan KPK. Para koruptor tidak pernah kehabisan cara untuk mengeruk uang negara dengan memanfaatkan revisi undang-undang yang cacat secara prosedural dan tidak melibatkan KPK serta mengabaikan kepentingan masyarakat. Revisi undang-undang KPK digunakan oleh elit-elit politik untuk melindungi oligarki dengan alasan politik yang demokrasi.

Berdasarkan data pada juni 2019 kasus korupsi terbanyak dilakukan oleh anggota DPR dipusat dan daerah yang ditangani oleh KPK yang mencapai 255 perkara, dengan 130 kepala daerah, 6 pimpinan parta politik, 27 kepala lembaga atau kementrian yang kebanyakan merupakan politisi. Penolakan KPK tehadap pembelian sanksi pidana korupsi dimanfaatkan oleh koruptor untuk melakukan kebiri yang melemahkan hukum tindak pidana korupsi di indonesia yang membuat kekecewaan dihati masyarakat indonesia. Hilangnya rasa kepercayaan masyarakat terhadap para pemimpin pemerintahan menyebabkan banyaknya petisi mengenai bukti ketegasan hukum tindak pidana korupsi karena terberainya KPK. KPK menggarap serius usaha-usaha pencegahan tindak pidana korupsi yang bekerja sama dengan banyak institusi untuk mendorong tertutupnya segala lubang kesempatan terjadinya tindak pidana korupsi dengan mengkaji berbagai sistem administrasi dan pelayanan publik untuk diperbaiki jika terjadinya kelemahan.

            Salah satu bentuk atau contoh kasus penyalahgunaan kekuasaan dan penyuapan (korupsi) yang dilakukan oleh pejabat politik yang pernah terjadi di Indonesia  adalah kasus penyalahgunan kekuasaan dan penyuapan yang dilakukan oleh djoko Tjandra yang telah merugikan negara senilai 490 milyar. Namun, dia hanya mendapatkan hukuman sekitar 3 tahun 6 bulan penjara saja dengan adanya kasasi dan peninjauan kembali di MA (Mahkama Agung) yang menyebabkan adanya ketidaktegasan sanksi atau  hukuman yang diberikan kepada koruptor, dan bertentangan dengan di UU No. 20 Tahun 2001 yaitu menyangkut penyalahgunaan kekuasan atau jabatan serta kasus penyuapan yang dikenai denda atau sanksi ganti rugi sekurang-kurangnya 200 juta rupiah dan maksimal denda satu milyar rupiah serta hukuman paling kurang 4 tahun penjara dan 20 tahun penjara palig lama, bahkan hukuman seumur hidup.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline