Lihat ke Halaman Asli

Ketika Sial dan Beruntung Menyatu Seru (bagian III)

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah berhasil memutus rantai dengan sihirnya, Phoebe menimpuk Aegis dengan kaktus besar. Kena telak ke kepala. Duri-durinya patah menusuk, membuat mata si pria lebam berbulan-bulan. Dibalas dengan kutukan Sial, tapi Phoebe menghindari kutukan itu dengan anugrah Beruntungnya.

“Ada apa ini? Ada apa ini?” Para selir, kasim, hingga anak-anak peri yang masih bau kencur membuka jendela, keluar pintu, melongokkan beraneka bentuk kepala siluman yang aneh, ajaib, dan entahlah aku tak memperhatikan detil. (Iyalah! Boro-boro kaleee!) BUM! Salah satu prajurit melemparkan granat bawang merah merica. Asapnya membuat semuanya bersin-bersin. Aegis menghapus air mata dan ingusnya. Phoebe terus saja lari sambil mengumpat, batuk, dan mengangkat gaunnya.

Di lapangan futsal yang lagi ada pertandingan sepak takraw antar RT/RW Rumah Susun Sosro, satu sosok pria berwajah ungu dan satu sosok wanita dengan gaun compang-camping mendadak mendarat di tengah lapangan, memutuskan tali net. Bola takraw lenyap entah ke mana, pria ungu unyu-unyu ujug-ujug menebas rambut para atlet ke sana ke sini hingga semua menjerit, termasuk  rambut pelatih wanita terkenal yang cengo tapi melontarkan ucapan bencong. “Aaaaaaa! Rambutku, wibawaku, bajuku yang seksi bohai dan semok! Tidaaaakkk!”

Phoebe terseok seok lalu merapalkan sesuatu di tengah kekacauan, tapi bola takraw yang hilang itu menghantam perutnya. Ajian nanggung yang belum selesai dirapalkannya membuat kursi penonton kebakaran. Semua penonton berlarian ke luar arena. Ada yang kejepit di toilet, ada yang turun ke tengah lapangan, ada yang mampus terinjak-injak pedagang siomay asongan yang gendut abiez. Masih ada lagi. Alarm kebakaran menguing-nguing, asap pemadam dari system keamanan malah membuat asap hitam dan asap putih berkabut menutupi pandangan semua orang. Satu tim Polisi dari organisasi anti huru-hara mendarat dengan burung Karaka. Petugas medis Vicenna kebanjiran order dan Pusat Kesehatan Melilea ribut semua karena pasien mereka bejibun sampai ada yang ditempatkan secara paksa di elevator, dan sebagainya, dan sebagainya. Dan tentu saja pengacau terwahid adalah headline bombastis Koran Currant akhir pekan: “ Duo Dewa Dewi Jadi Buronan Satpol: Guri Giok Galau”.

Begitulah. Kepo, kepo dah tuh. Kepo kepo kapok, banyak yang nabok, dan para pandhita hedonis masih mabok dan membicarakannya bertahun-tahun cahaya. Pada akhirnya, kasus itu berakhir dengan solusi amit-amit jabang bayi. Askorbut, salah satu keturunan Pluto penjaga gerbang waktu membekukan waktu, dan di kala semuanya berhenti dan tidak bergerak sama sekali, Batara Guru turun tangan, meringkus Aegis Satoru yang selalu sial dan Phoebe Magnolia yang tidak selalu beruntung.

Pagoda Samael Narun Sanggalangit, Penjara di Kedutaan Zenith

Dua tahanan yang ditawan berlainan ruangan yang hadap-hadapan saling diam dengan posisi saling membelakangi. Yang memisahkan kamar mereka bukan jeruji, melainkan cermin air terjun. Berbagai jenis rantai pemberat dibebatkan pada tahanan pertama. Yang satunya lagi mengenakan perisai di dadanya, perisai titanium khusus pengikat yang membuatnya tak mungkin berkutik atau beranjak dari sana. Mereka berdua sudah bermukim di dalamnya selama 500 tahun roh. Setara dengan sebulan waktu manusia. Ya, rumus matematisnya memang berbeda, bukan?

Mereka berdua dijebloskan dengan dakwaan serta catatan Karma yang tebal sekali hingga juru tulis harus menuangkannya dalam Kitab Mahfuz. Tidak ringan tentunya, namun Kaisar Giok memberi satu keringanan yang bijak, mereka diperintahkan mendinginkan kepala saja. Gelar dan kekuatan semua dicabut dan dikunci pada Pagoda dengan kunci rahasia, dan mereka kini tak berdaya di dalam sana. Tidak tahu sampai kapan juga masanya. Syarat dan ketentuan berlaku seperti provider internet atau diskonan 3M (Murah Meriah Mencret). Sel mereka sesempit R12S (Rumah Sederhana Sekali Selonjor Saja Susah Sempit Seperti Sarang Suaka Sandal Sepatu Sialan).

Awalnya, Phoebe menangis terus. Aegis teriak-teriak, meronta, menyalahkan, meneriakkan ratusan perintah kepada para android penjaga. Tapi cermin air terjun itu sepanas lahar. Walhasil, pada akhirnya Diam bertahta di atas segalanya. Phoebe merenung, lama kelamaan perasaan bersalah yang bercokol di dadanya kumat lagi. Aegis, kemarahannya mereda secepat desingan peluru karena kebosanan ampuh untuk mengobati dendam kesumatnya. Cepat atau lambat, salah satu harus ada yang memulai. Dan ternyata yang angkat bicara pertama justru mantan Dewa Kesialan.

“Sial sial sial sial sial sial sial!”

Phoebe diam saja. Aegis sudah mengulangi kata-kata khasnya itu selama 72 jam.

Aegis melirik sambil berbaring, lalu meneruskan tanpa ampun.

“Sialsialsialsialsialsialsialsialsialaan.”

Phoebe menyumpal kupingnya dengan telunjuk. “Gis! Sial sial sial? Kalau tidak bisa memaki dengan lebih kreatif, lebih baik berhenti saja!”

Pria itu nyengir kuda nil. “Syohohoho. Okey! Untung untung untung untung untung untung…” “AAAAH! Itu sama saja! Kamu nyindir aku lagi!” ”Balas makanya jangan diam saja!” “Idiiihh! Ngapain aku bales makian! Nanti seisi kebun binatang Zooliathax keluar dari mulut terkutukmu!” Aegis mengedip. Dia teringat sesuatu. “Oh iya ya… Kutukan itu. Bagaimana jadinya ya di Bumi? Mungkin ras manusia sudah punah karenanya…” Phoebe mendecakkan lidahnya kesal.

“Bumi sudah meledak.” “Heih? Tahu dari mana?”

“Aku punya siasat dan mata-mataku sendiri. Kasas bilang, ketika Satyayuga berakhir, kiamat juga sudah terjadi. Persis ketika aku dipertemukan lagi denganmu, dewa sial!” Aegis diam. Kasas ya… Peramal itu memang tahu segalanya. Hanya satu rahasia tersisa.

“Aku kangen dengan planet air biru itu. Itu rumahku, ralat, rumah kita berdua, Phoebe. Aku ikut andil dalam kutukan itu sendiri. Dan kamu tentu juga tahu, kalau orang-orang paling sial yang aku kutuk hingga nyaris tewas selamat karena perlawananmu sebagai pewaris sah anugerah keberuntungan.” Phoebe berbalik, menatap dengan tatapan tercengang sekaligus tidak setuju. “Itu bukan karena aku! Umur mereka memang sudah habis. Wajar kalau Azrael sendiri marah-marah. Aku mengabdikan diriku dan membayar hutang Karmaku memang dengan menolong, tapi tentu saja aku tidak bersimpati pada semua orang! Aku tidak tolol sepertimu! Nasibku lebih sial dari yang kau pikir, Satoru! Banyak yang tamak begitu tahu dia beruntung. Semakin beruntung mereka, mereka meminta lebih dan lebih banyak lagi hanya demi memuaskan 7 Nafsu Dasar! Bejat betul mereka! Dan malas! Menceritakan ini padamu saja aku segan!” Monolog gadis itu keras. Aegis alias Satoru menghela napas panjang, iba. “Nasibku tak jauh beda. Semestinya dari dulu kita bicara begini. Mau tahu sesuatu yang lucu? Kesialan juga sama saja. Orang yang sial menjerit, mengemis-ngemis, tapi tidak pernah berdoa. Keluhan mereka bisa panjang x lebar x tinggi. Pada akhirnya mereka menggali kubur mereka sendiri. Jiwa mereka jadi arwah penasaran yang kabur dan terjebak antara langit bumi, surge neraka… Whatever! Aku yang kena getahnya! Dan di atas semua itu… Kesialan dan rahasia terbesarku… Kau yakin mau tahu? ”

“Eh? Tentu saja! Katakan!”

Mata Phoebe memang sembab, tapi juga berbinar-binar kini. Aegis menelan ludah, dan berterus-terang: “Akulah pencipta kutukan Zooliath!”

“APA???” (Ala sinetron, red.)

“APAH??? (Ala sinetron Sunda oleh tahanan yang mencuri dengar, red.)

“Beeep!” (Terjemahan: WHAATT? Oleh android di pintu sel, red.)

Lalu sesudahnya, saya persingkat saja dengan hak saya sebagai Pendongeng sekaligus narator. Satoru langsung bercerita berbusa-busa pada Magnolia. Zooliath dimulai dengan praktikum sederhana dewa dewi farmasi, termasuk Vicenna. Percobaan itu gagal, dan akhirnya laboratorium “locustrum” Akademi Alfa Centauri meledak. Sebagian cairan tumpah ke bumi dari kolong langit. Sisanya menyebar ke seluruh kahyangan melalui asap, udara, ozon, dan satu-satunya yang tidak tersentuh hanya kahyangan Lazuardi 7 tempat maharaja, maharani, dan malaikat paling suci.

Semua misteri terkuak sekarang, lalu apa kelanjutannya?

“Aku juga sudah lama ingin mengatakan ini dengan jujur padamu, Aegis.”

Aegis tersenyum, entah sudah berapa abad perasaannya tidak selega sekarang.

“Muntahkan saja semua, Phoebe!”

Pheobe menatapnya menembus cermin air terjun. Aegis sekarang sudah balas menatapnya. Pandangan mereka berdua dihablurkan pembatas itu, tapi semua sudah baik dan apa adanya sekarang.

Phoebe menautkan jemarinya di depan dada. Telapak bertemu dengan telapak.

“Aku minta maaf tentang insiden konyol Piala Odin itu… Perasaanku buruk sekali sesudahnya! Aku mencari kesempatan untuk mengatakannya padamu, tapi yah, kau tak pernah memberiku kesempatan. Bahkan ada segunung surat di kamar kerjaku di bumi. Semuanya tak pernah kucoba kirimkan karena satu alasan, yakni apalagi kalau bukan ketakutanku sendiri… Mau kan kamu maafin aku?”

“Itu sudah lama sekali. Ga perlu dibahas lagi! Kayaknya aku ga nyadar aku udah maafin kamu dari kapan tahu.”

“OHH!” Phoebe berdiri, melompat hendak memeluk pria itu. Aegis sontak mengulurkan tangan kanannya, hendak menyambut. Kontak fisik yang mereka coba spontan itu menembus cermin air terjun.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline