Lihat ke Halaman Asli

Geliat Malam di 'Pelataran Ramadhan'

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Geliat malam telah terpurukkan oleh siram gerimis penuh desiran angin. Pada rona cahaya lampu terpantul bias-bias keriput yang terlunturkan oleh hempasan tetes air yang barangkali menyejukkan sejenak gundah hati anak manusia. Mereka ada dibawah terang penuh garis-garis gerimis, menyapu kegetiran rasa yang telah lama tertancap pada harapan masa depan mereka. Derasnya gerimis tak lagi menjadi aral untuk mencipta senyum pada anak dan istri terkasih. Hanya laki-laki penuh semangat yang pantang menyerah dalam mengarungi kebahagian untuk dipersembahkan pada sang keluarga. Gerimis pun semakin menjadi diluar batas titik deras, lensa kehidupan sempat menangkap fokus anak manusia yang masih tetap bergegas mengemas serpih-serpih berkah illahi. Suara gemuruh di hamparan langit pun seakan tak mampu menandingi nyaring suara sempritan peluit dimulutnya. Tiada kepedulian dalam benaknya kecuali membawa sekarung senyuman demi anak-anaknya dirumah. Lalu-lalang kendaraan yang sebagian singgah di ruas areal parkir pelataran masjid dekat alun-alun satu persatu mulai meninggalkan suara sempritan dari mulut Pak Tua. Satu sempritan saja menjadikan hidupnya sangat berarti dan satu sempritan merupakan seribu senyum bagi keluarganya. Namun lain dengan malam-malam yang telah berlalu, malam ini kegetiran hati merayap kembali pada diri anak manusia itu ketika gerimis telah memetamorfosiskan diri lebur dalam penyatuan derasnya hujan. Dipandanginya areal parkir itu tanpa mengedip walau air hujan sebenarnya dapat membuat matanya perih. Seakan dalam pandangan kosong, tatap matannya membidik areal parkir yang mulai tanpa kendaraan satupun disana. "Ya Allah jadikanlah RahmatMu melalui hujan yang teramat deras ini", sesekali hatinya bergumam untuk berdoa agar sebuah hujan benar-benar menjadi keberkahan. Hampir sejam Pak Tua sang Juru Parkir berdiri dekat gerbang masjid, sampai tak dihiraukan lagi pakaian yang dikenakan basah kuyup tersiram cucuran hujan yang oleh sebagian umat dianggap keberkahan. Lain dengan benak Pak Tua yang menganggap hujan malam ini benar-benar diluar jangkauannya yang akan menutup pintu senyum anak-anak dan istrinya karena sudah dipastikan dia tak dapat uang. Sudah sejak lama keluarga Pak Tua hidup mengikuti Sang Nabinya dalam kemiskinan harta, walau mencoba untuk tetap memupuk kebahagiaan dalam kehangatan sebuah keluarga kecil namun tetap saja pintu senyum keluarganya tertutup jika Pak Tua pulang tanpa uang. Siraman air hujan malam ini bertambah dahsyat pada kegilaan pikir malam Pak Tua, yang tertatih menyusuri malam-malam trotoar dengan guyuran derasnya air "keberkahan". Uang yang terkantongi kiranya hanya cukup untuk setoran parkir kepada sang pemilik lapak parkir dan tuan preman lahan parkir terhormat, merekalah yang sesungguhnya teramat menikmati "keberkahan" dari sang juru parkir seperti Pak Tua. Merekalah yang sesungguhnya memiliki senyum berlebihan dalam gelak tawa pada lobi-lobi penuh lacur bersama pejabat-pejabat terkait. Bejatnya moral bangsa ini sudah pada fase Hawiyah Annar, layaknya api pemanggang gizi santapan para pejabat Negeri ini ketika mereka berkunjung dan singgah pada restoran, cafe dan hotel berbintang. Keadilan Tuhan sungguh terlalu sempurna bagi hamba-hambaNya, mereka pun akan menikmati uang "panasnya" bersama sajian-sajian "panas" ala Resto Ahlunar Wa Ablasa. Seakan panas bara sajian para pejabat bejat pun tak mampu menghangatkan alam pikir Pak Tua walau sedikit, Pak Tua tak hentinya berpikir untuk tetap membuat senyum keluarganya ketika sang istri membukakan ketukan pintu darinya. Tetap melangkahi lorong-lorong kota yang terlihat senyap, Pak Tua mencoba membuat bara api pada sebatang rokoknya yang terakhir. Hujan pun mulai menampakkan alur titik-titik gerimis, tentunya Pak Tua sudah menggigil dengan pakaiannya yang mulai terlihat kering kembali, tertiup sapuan angin sepanjang perjalanan pulang. Suara ketukkan pintu oleh Pak Tua belum juga terdengar ditelinga sang istri yang mungkin sudah terlelap bersama mimpi indahnya dan harapan sang suami pulang dengan membawa uang. Sejam sudah Pak Tua berketuk pintu, baru terdengar suara sandal terompah jawa milik istrinya, pintu rumah pun mulai terbuka. "Maaf istriku, malam ini aku tak membawa sepeserpun uang", suaranya sedikit lirih penuh sesal. "Sudahlah Suamiku, lekas ganti bajumu itu agar kita semua selalu dalam kondisi kehangatan, tadi siang ada tetangga kita habis beli mobil baru, mereka bersyukur lewat membagikan sepaket sembako dan keluarga kita terkirimi", sahut sang pendamping setianya. Tak lama setelah Pak Tua berganti baju, sang istripun bergegas ke dapur karena dari suara sepeker surau dekat rumahnya sudah terdengar himbauan bersantap sahur. Sambil menunggu hidangan santap sahur dari sang istri, Pak Tua masih bergumul bersama pikir malamnya, "Mungkinkah doaku terkabul, Rahmat Tuhan tetap terlimpahkan di derasnya hujan menjadi Keberkahan kami, bahwa istriku msh tetap dapat tersenyum. Yah, Ramadhan memang penuh berkah".




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline