Author: Gading Satria Nainggolan, S.H., M.H. (Managing Partner of Gading & Co. Law Firm)
Secara hukum, hubungan utang piutang antara kreditur dan debitur masuk ke dalam ranah hukum perdata, yang mana hubungan hukum tersebut lahir dari adanya perjanjian yang dibuat antara debitur dengan kreditur. Untuk perjanjian tersebut sendiri, tentu saja terlebih dahulu memenuhi syarat-syarat yang ditentukan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebelum memiliki kekuatan hukum yang sah dan mengikat bagi kedua belah pihak.
Di dalam perjanjian tersebut, kreditur terikat pada suatu tanggung jawab untuk menyerahkan sejumlah (umumnya) uang, sedangkan debitur terikat pada suatu tanggung jawab untuk membayar atau mengembalikan uang milik kreditur tersebut, baik yang disertai bunga ataupun denda keterlambatan. Adanya tanggung jawab masing-masing pihak tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang selengkapnya menyatakan:
“Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.”
Selanjutnya, secara spesifik, perihal utang piutang yang dituangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur dalam ketentuan Pasal 1754 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang selengkapnya menyatakan:
“Pinjam pakai habis adalah suatu perjanjian, yang menentukan pihak pertama menyerahkan sejumlah barang yang dapat habis terpakai kepada pihak kedua dengan syarat bahwa pihak kedua itu akan mengembalikan barang sejenis kepada pihak pertama dalam jumlah dan keadaan yang sama.”
Namun demikian, jika kita meminjamkan sejumlah uang kepada pihak lain, hal utama yang perlu diperhatikan adalah sah atau tidaknya perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur tersebut. Jangan sampai kreditur memberikan pinjaman uang namun tidak didasari pada suatu perjanjian yang sah secara hukum. Sehingga tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa hal yang paling utama yang perlu diperhatikan di dalam pembuatan suatu perjanjian adalah wajib terpenuhinya syarat sahnya suatu perjanjian.
Syarat sahnya suatu perjanjian (tidak terbatas pada perjanjian utang piutang) diatur dalam ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang selengkapnya menyatakan:
- kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
- kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
- suatu pokok persoalan tertentu; dan
- suatu sebab yang tidak terlarang.”
Syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana disebutkan di atas sifatnya akumulatif, yang dapat dilihat dari tanda kata hubung “dan”, yang artinya seluruh syarat tersebut wajib ada jika ingin perjanjian tersebut sah secara hukum. Jika tidak memenuhi syarat subjektif yang terdapat pada angka 1 dan 2, maka perjanjian tersebut memiliki konsekuensi hukum dapat dibatalkan. Sedangkan apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat objektif yang terdapat pada angka 3 dan 4, maka perjanjian tersebut memiliki konsekuensi hukum batal demi hukum
Apakah tidak bayar utang dapat dipenjara?