Lihat ke Halaman Asli

Bukan Reforma Agraria Sejati

Diperbarui: 5 Oktober 2018   23:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Butir-butir dari nawa cita yang dijanjikan oleh pemerintahan Jokowi pada kampanye begitu menarik perhatian para petani dan kaum buruh. Tentunya dalam masa kampanyenya tak lupa menyematkan slogan pro rakyat kecil untuk menarik simpati masyarakat kelas bawah. Salah satu nawa cita itu adalah soal Reforma Agraria. Tujuan daripada Reforma Agraria adalah memperbaiki struktur ketimpangan lahan, mengembalikan tanah pada esensinya serta untuk menaikkan taraf hidup kaum tani. Namun realita yang terjadi mengenai nawa cita yang ditawarkan Jokowi tentang Reforma Agraria bertolak dari tujuan dan hakikatnya.

Data Konsorium Pembaruan Agraria menunjukkan ketimpangan lahan di masa kepemimpinan Jokowi justru meningkat. Setidaknya kini setiap menit 0,25 hektar lahan pertanian telah beralih fungsi menjadi lahan non-pertanian. Atau bila dikonversi 0,25 hektar lahan tersebut setara dengan satu rumah tangga petani. Artinya ada satu rumah tangga petani yang kehilangan sumber penghidupannya.

Bagaimana cara kita menerka "logika" reforma agraria yang salah kaprah itu?

Pembagian sertifikat tanah yang digadang-gadang sebagai pencapaian atas nawa cita reforma agraria malah menambah persoalan. Rupanya ada yang perlu untuk lebih kita risaukan dari sekadar berspekulasi bahwa sertifikasi kepemilikan tanah itu adalah persiapan pemilu 2019. Alih-alih menyelamatkan lahan pertanian, sertifikasi tanah ini justru melancarkan akuisisi. 

Praktik dari pemberian sertifikat tanah ini dipasarkan oleh pemerintah untuk mempermudah peminjaman modal usaha. Dengan bahasa khas populis pemerintah mencoba menggoyahkan para petani untuk beralih profesi. Seburuk-buruk rayuan pemerintah atas program ini adalah memberikan penawaran penggadaian sertifikat tanah bila kaum tani terdesak kebutuhan finansial. Sungguh kaum petani tanpa sadar telah dijebak untuk berserah diri dan digusur secara perlahan.

Pembiasan makna dari reforma agraria ini tidak hanya mengorbankan kaum tani, namun seluruh masyarakat Indonesia yang masih menyadari pentingnya keberadaan tanah bagi hidup mereka. Apabila lahan atau hutan adat ingin segera dilegalkan untuk menjadi hak perorangan tentu telah berbenturan dengan hukum yang telah mengaturnya dalam putusan MK 35 tentang hutan adat, dimana ditegaskan hutan adat bukanlah hutan negara. Lewat kebijakan-kebijakan yang berpotensi bias makna ini pemerintah mencoba merampas hak rakyat desa untuk dikelola oleh negara. 

Selain mandek dan bias makna nawa cita reforma agraria, perampasan dan kriminalisasi petani juga marak terjadi. Tercatat dari tahun 2015 hingga 2016 telah terjadi sedikitnya 702 konflik agraria di atas lahan seluas 1.665.457 juta hektar dan mengorbankan 195.459 KK petani (data: KPA, 2015 dan 2016). Dalam rentang waktu tersebut sedikitnya 445 petani dikriminalisasi dan ditahan. 229 petani ditembak dan perlakukan secara tidak wajar. 18 orang tewas akibat konflik agraria ini. 

Posisi pemerintah dalam persoalan agraria ini perlu dipertanyakan. Kepada siapa nawa cita itu ditujukan? Kaum tani atau justru pengusaha swasta? Sebab konflik agraria lebih sering melukai kaum petani dan pertumpahan darah terjadi di atas tanah mereka sendiri.

Apa sesungguhnya makna nawa cita yang ditawarkan Jokowi? Apakah nawa cita ini sengaja dirancang untuk melahirkan duka cita?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline