Lihat ke Halaman Asli

Stop! Terorisme Bukan Ladang Jihad

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Indonesia, negeri pluralis dengan kemajemukkan penduduk luar biasa. Berbagai suku, agama, ras, dan antargolongan terintegrasi menjadi sebuah bangsa. Seyogyanya perlu upaya keras agar semua itu dapat berkompromi menuju suatu konsensus damai yang diidamkan. Hidup selaras penuh toleransi tanpa ada pertikaian antarego serta mengupayakan konsiliasi nyata ketika satu kepentingan berkontravensi dengan kepentingan lain.

Namun kenyataan berkata lain. Dewasa ini, di negeri yang notabenenyakesatuan ini, marak terjadi kasus terorisme mengatasnamakan Islam sebagai alat pemecah belahdan  penumbuh konflik bahkan permusuhan antar umat beragama. Aksi teror menjamur di berbagai zona waktu dan tempat dengan bernaung di bawah bayang-bayang nama "Jihad". Padahal jihad menurut syari'ahIslam, tidak membenarkan sedikitpun apa yang dilakukan para teroris dengan menumpahkan darah bahkan melenyapkan nyawa manusia. Entah mereka salah persepsi atau salah dalam memahami ajaran-ajaran jihad Islam yang sesungguhnya. Atau bahkan keimanan mereka yang sedikit demi sedikit luruh oleh doktrin-doktrin jihad yang keliru.Secara fundamental,Islam adalah agama yang mencintai, menyuarakan, mengupayakan dan mempertahankan perdamaian sertaantipati terhadap permusuhan antarumat beragama. Jihad dengan jalan membunuh sekelompok orang dilakukan hanya jika keadaanperang untuk mempertahankan suatu wilayah karena di usikoleh negara lain(terdesak posisinya).Jika melihat cara-cara berjihad seperti jaman sekarang, misalnya dengan meledakkan bom bunuh diri maupun bom waktu di tempat-tempat vital atau pusat konsentrasi massa, itu salah besar.Banyak orang yang tak tau apa-apa, harus meregang nyawa akibat ledakan bom dan korban selamat harus menanggung trauma psikis berkepanjangan. Padahal jika kita merujuk pada konstitusi negara, terorisme telah mencederai makna suci hak asasi manusia (HAM) yang diimplementasikan dalam pasal 28A sampai 28J UUD 1945 khususnya substansi pasal 28G ayat 1 yang berbunyi, …serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan… dan substansi pasal 28I ayat 1 yang menyatakan bahwa hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Dalam agama Islam,Nabi Muhammad SAW telah mengingatkan tentang haramnya berbuat suatu bahaya dalam bentuk apapun terhadap sesama umat manusia. Hal itu dikhawatirkan dapat mengancam keselamatan kaum muslimin sendiri dan dapat menjatuhkan harga diri agama Islam di mata agama-agama lain.

Masih ingatkah tragedi 10 tahun lalu dimana pulau tujuan pertama berwisata di Indonesia menjadi pusat pemberitaan dalam dan luar negeri? Ya, tragedi bom Bali I yangterjadi pada malam12Oktober2002 pukul 23.05 WITA di Paddy's Pub dan Sari Club (SC) Jalan Legian, Kuta, Bali. Tragedi tak berperikemanusiaan yang menewaskan 202 jiwa dan melukai 209 orang (viva news). Tak hanya tragedi memilukan 10 tahun silam, 2 tahun setelah itu terjadi pengeboman kedutaan besar Australia di Jakarta (Bom Kuningan) tepatnya tanggal 9 September 2004 pukul 10.30, namun tak seorangpun warga Australia yang menjadi korban dalam aksi terorisme ini. Dan kasus teror baru-baru ini terjadi di Solo, yaitu aksi penembakan polisiyang sedang bertugas di pos Singosaren pada malam hariJumat, 31 Agustus 2012. Pelaku terorterbilang masih muda. Hal ini menunjukkan regenerasi sel teroris yang bisa jadi ada kaitannya dengan jaringan lama atau bahkan tidak ada sama sekali. Konektifitas generasi teroris bisa muncul karena ikatan perasaan dan ideologis yang memunculkan simpati antar kolega atau relasinya. Misalnya, ketika seorang teroris di tangkap dan di jatuhi hukuman mati hingga kemudian di eksekusi, muncul rasa dendam yang radikal pada keluarga atau koleganya. Dan untuk melampiaskannya, mereka meneruskan "perjuangan" menjadi teroris juga. Semakin banyaknya generasi teroris yang lahir, bukan berarti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) gagal menjalankan tugasnya.Sebabtak dapat di pungkiri, untuk memutus mata rantai terorisme membutuhkan waktu dan proses yang lama.

Dalam mengurangi bahkan melenyapkan generasi teroris baru, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Negara harus cukup keras memutar otak demi terselenggaranya kehidupan negara yang benar-benar aman dan bebas dari aksi teror.Upaya penanggulangan terorisme bisa di lakukan melalui pendekatan Hard Power dan Soft Power seperti yang dipilih Indonesia dalam mengurangi jumlah generasi teroris. Pemberantasan melaluiHard Power melalui instansiPolri, khususnya Detasemen Khusus (densus) 88 sebagai perangkatnya,terus ditingkatkan.Sementara itu,pencegahan melalui Soft Power melalui BNPT sebagai perangkatnyaterus diintensifkan. Kedua pendekatan ini harus sinergis agar pemutusan rantai terorisme di Indonesia dapat optimal. Selain pendekatan Hard Power dan Soft Power, dapat pula dilakukan pembinaan kepada umat Islam terutama generasi muda Islam dengan melibatkan para tokoh yang betul-betul memahami Islam, dari mulai dalil-dalil serta penggunaan dan penerapan dalilnya. Upaya ini perlu di lakukan karena sebagian besar generasi teroris tidak paham dengan dalil-dalil. Di lain sisi mereka mudah terpengaruh dan terinfiltrasi doktrin-doktrin sesat karena tidak memiliki pondasi iman yang kuat.Dan pertahanan paling dasar dalam pencegahan munculnya bibit-bibit terorisme ialah peran aktif keluarga dalam hal ini orangtua untuk membimbing serta memantau aktivitas dan kegiatan anak-anaknya setiap hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline