Lihat ke Halaman Asli

Kekerasan Verbal yang berujung pada Toxic Relationship

Diperbarui: 18 Januari 2022   13:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kekerasan Verbal merupakan kekerasan yang dilakukan melalui ucapan kata dan memicu timbulnya rasa sakit pada perasaan maupun kejiwaan seseorang. Kekerasan ini dapat terjadi di mana pun dan oleh siapa pun baik itu keluarga, teman, sepasang kekasih yang sedang merajut asmara, bahkan dalam sebuah relasi yang sepatutnya penuh kehangatan dan kasih sayang. Kekerasan verbal terbilang ke dalam kekerasan psikis (mental), kekerasan ini dilakukan untuk meruntuhkan mental seseorang agar menjadi tak percaya diri dan cenderung merasa dirinya tak lagi berharga. Yang memprihatinkan, kekerasan jenis verbal ini kerap dipandang remeh, sehingga tak jarang baik pelaku maupun korban tidak menyadarinya. Ada beberapa aspek yang membawa dampak terjadinya kekerasan verbal, diantaranya minimnya wawasan orang tua perihal tumbuh kembang anak, lingkungan yang tidak kontributif, serta kurangnya penerimaan orang-orang sekitar terhadap keunggulan dan kelemahan korban. Mengungkapkan kata-kata yang kasar tanpa mengenai fisik, seperti mengintimidasi, memfitnah, menghujat, menjuluki dengan  sebutan yang tidak pantas, mendramatisasi kesalahan merupakan representatif dari kekerasan verbal. Apabila kekerasan tersebut berlangsung secara berkepanjangan, maka akan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan pada diri sehingga merasa terasingkan, tidak diinginkan, hingga menyebabkan lenyapnya kepercayaan diri yang dimiliki seseorang. Oleh karena itu, diperlukan adanya toleransi yang baik antara pihak keluarga, teman, dan lingkungan agar seseorang tidak menanggung terjadinya kekerasan verbal. Apabila kita tidak sengaja melakukan kekerasan verbal terhadap orang lain yang meyinggung perasaan orang tersebut, maka hendaknya memohon maaf dan berusaha untuk tidak mengulanginya kembali.

Banyaknya impak yang dipicu oleh terjadinya kekerasan verbal, menyebabkan diperlukannya berbagai upaya untuk menangkal terjadinya hal tersebut. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan membenahi cara berkomunikasi dan mengontrol emosi, terlebih apabila situasi dan kondisi sedang dalam keadaan yang tidak kondusif. Hal lain yang dapat digunakan sebagai upaya mencegah terjadinya kekerasan verbal adalah dengan belajar dari pengalaman masa lampau yang pernah dideritanya dengan tidak mengulanginya. Apabila dahulu kerap memperoleh pola asuh yang ketat dan selalu mendapatkan kekerasan verbal, maka sepatutnya hal tersebut tidak dilakukan kepada orang lain. Selain itu, dalam lingkup internal (keluarga) dapat melakukan upaya seperti orang tua yang sudah sewajarnya mengetahui bahwa setiap anak unggul pada keahliannya masing-masing, dan apabila seorang anak menyiratkan ketidakmampuannya dan tidak sepadan dengan apa yang diharapkannya, maka orang tua tidak perlu langsung mencibir dan meremehkan anak karena kegagalannya tersebut.

Korban dari kekerasan verbal memang tidak mengalami cedera secara fisik, akan tetapi ia mengalami luka secara emosional dan apabila dibiarkan begitu saja akan berdampak buruk bagi kondisi mental seseorang. Rasa sakit yang dirasakan setelah mengalami kekerasan ini pun nyata dan akan sulit untuk dilupakan begitu saja, bahkan seiring berjalannya waktu justru dapat menimbulkan trauma tersendiri bagi korban.Yang memilukannya lagi, efek dari kekerasan verbal ternyata membutuhkan waktu pemulihan yang seringkali lebih lama dibandingkan kekerasan fisik. Luka-luka yang disebabkan oleh kekerasan verbal tak tampak oleh mata dan tidak bisa disembuhkan dengan obat-obatan seperti luka fisik pada umumnya. Dibutuhkan terapi dan pendampingan bagi korban kekerasan verbal, karena sifatnya yang bersinggungan dengan kekerasan psikologis.

Disamping itu, apabila seseorang terus menerus mendapatkan kekerasan verbal yang mengakibatkan dirinya tertekan dan harus menyesuaikan keinginan pelaku akan menuju ke dalam hubungan yang beracun (Toxic Relationship), yaitu merupakan hubungan yang membuat seseorang merasa tidak didukung, dianggap tak mampu, atau dikecam. Bentuk tindakan negatif yang bisa mempengaruhi kesehatan mental seseorang ini bisa secara fisik, psikologis atau emosional, dan yang paling serius adalah tindakan verbal karena luka pedih yang dirasakan oleh korban tak mampu hilang dengan sendirinya dan cukup memakan waktu yang berkepanjangan untuk menghilangkan trauma tersebut. Hal ini dapat terjadi karena, komunikasi antar individu yang terjalin tersebut tidak membuahkan hasil interaksi yang positif dengan membuat batasan-batasan yang mengekang untuk meningkatkan potensi diri seseorang. Seseorang yang telah terperangkap dalam hubungan beracun tersebut sulit untuk meningkatkan kepercayaan dirinya di tengah lingkungannya, karena setiap ingin mengutarakan pendapatnya selalu diberi kritikan yang negatif atau bahkan pedas, dan hampir seluruh keputusan yang diambil selalu ditentang serta dianggap remeh atau tidak sesuai dengan apa yang dipikirkan. Hubungan komunikasi yang sudah negatif dan penolakan yang sering terjadi sangat mengancam kesehatan mental seseorang hingga akhirnya orang tersebut terjerumus ke dalam toxic relationship.

Pelaku toxic relationship yang biasa disebut dengan toxic people dapat berlaku untuk orang terdekat korban yang selalu diketemui, seperti keluarga, pasangan dalam jalinan kasih yang tidak sehat, atau teman sepantaran bahkan sahabat yang sering melakukan tindakan bullying berupa kekerasan verbal, fisik, maupun seksual. Jenis toxic relationship dapat diklasifikasikan ke dalam berbagai bentuk, yakni: hubungan tidak sehat dengan teman/sahabat (toxic friendship), orang tua (toxic parenting), dan pasangan kekasih. Perlunya kesadaran yang ditanamkan dalam diri untuk saling toleransi dalam menyikapi perlakuan toxic people salah satunya dengan mendampingi para korban agar tidak mengalami tekanan jiwa, dan selaku korban agar lebih mencintai diri sendiri (self love) guna terbebas dari tindakan toxic, sehingga kesehatan mental dan jiwanya tetap terlindungi. Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjalinnya toxic relationship dapat ditanggulangi dengan membagikan contoh beserta cara guna membentuk sebuah interaksi dan komunikasi yang baik, seperti bercanda gurau sewajarnya, saling menerima satu sama lain, berkomunikasi yang hangat serta simpatik, dan lain sebagainya. Dengan mengimplementasikan upaya-upaya tersebut dapat meminimalisir faktor pemicu terjadinya korelasi yang tidak sehat, dan kehidupan yang djalani oleh makhluk sosial kedepannya akan terjalin dengan aman, nyaman dan tentram.

Referensi :

Bonita Mahmud. (2019). Kekerasan Verbal pada Anak. Jurnal An Nisa', 12(2). 690-691, 693-694. https://www.jurnal.iain-bone.ac.id/index.php/annisa/article/view/667/495

Novi Andayani Praptiningsih; Gilang Kumari Putra. (2021). Toxic Relationship dalam Komunikasi Interpersonal di Kalangan Remaja. Jurnal Budi Luhur, 12(2). 140-143. https://journal.budiluhur.ac.id/index.php/comm/article/view/1510




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline