Cerita itu telah hilang. Cerita tentang cinta kita. Saat kita memadu kasih, hingga kau pinang aku.
Aku tak ingat apa-apa. Kecelakaan itu telah mengambil ingatanku tentang cerita cinta kita.
Oh, akankah aku kembali ingat?
atau waktu dapat berbaik hati (lagi) membuatku jatuh cinta (lagi) padamu?
“Kamu siapa?” itulah pertanyaan yang keluar dari mulutku ketika aku membuka kedua mataku dan melihat seorang laki-laki yang berdiri di hadapanku saat ini.
“Aku suamimu.” Jawabnya.
Suami? Aku sudah menikah? Dengan laki-laki ini? Aku tak percaya. Aku memperhatikannya lekat dari ujung kepala hingga ujung kaki. Hmm, wajahnya tak bisa kukatakan tampan. Biasa saja. Postur tubuhnya tinggi dan cenderung kurus serta warna kulit yang gelap kecoklatan. Penampilannya juga sederhana, uupss! Kalau aku boleh jujur, penampilannya norak dan nyentrik. Dia mengenakan blus berwarna hitam dan celana jins belel berwarna abu-abu. Rambutnya yang ikal ditutupi oleh topi berwarna biru. Tabrak warna. Ditambah lagi, deretan giginya dipagari behel berwarna hijau. Ya, itulah yang kulihat. Aku heran, mengapa aku bisa jatuh cinta pada laki-laki macam ini dan bagaimana prosesnya hingga kami benar-benar bisa sampai menikah. Ah! Aku tak ingat. Sebenarnya, aku curiga. Harus kuselidiki apakah benar dia adalah suamiku atau jangan-jangan, dia adalah orang jahat yang hanya ingin memanfaatkanku atau mungkin dia adalah bandar narkoba atau lebih jauh lagi mungkin dia adalah sindikat teroris! Oh! Aku telalu berlebihan rupanya! Dia – laki-laki yang mengaku suamiku itu – bernama Rio menjelaskan padaku bahwa aku mengalami kecelakaan hebat dan aku mendapat benturan yang cukup keras pada bagian kepalaku hingga membuatku gegar otak dan hilang ingatan. Aku hanya mengangguk-ngangguk saat mendengarkannya. Kondisiku yang sudah membaik setelah aku tersadar dari koma selama seminggu lamanya membuatku sudah diperbolehkan pulang ke rumah oleh suster yang merawatku. Hari ini, tepat pukul 10.00 am, aku keluar dari rumah sakit. Dan, sampailah aku di depan sebuah rumah. Rumah yang teramat asing bagiku. Asing.
Aku memandang rumah yang tegak berdiri di hadapanku saat ini untuk waktu yang cukup lama; mencoba mengingat. Perlahan, kuayunkan kedua kakiku melangkah mendekati rumah itu dengan tertatih-tatih dibantu oleh Rio. Tangan kanannya membopongku, sementara tangan kirinya menjingjing sebuah tas koper yang ukurannya lumayan besar dan berat; berisi beberapa pakaianku selama menginap di rumah sakit. Aku tak tahu ini rumah siapa. Rumah kami? Aku tak ingat. Sungguh. Aku belum bisa mengingat apa-apa; tentang kehidupanku di masa lalu, pun kisah cintaku dengan laki-laki yang tengah membantuku saat ini – Rio. Bersamanya, aku memasuki rumah ini. Rumah ini ukurannya tidak besar bahkan bisa kukatakan terlalu kecil untuk tempat tinggal sebuah keluarga yang telah memiliki anak. Untungnya saja kami belum memiliki anak. Jika kami sudah memiliki anak, pastinya kami akan pindah ke rumah yang lebih besar dari ini. Harapku demikian. Entah kapan. Kembali lagi ke rumah. Jika kugambarkan, rumah ini hanya terdiri dari tiga ruangan yang tersusun seperti gerbong kereta api; ruang depan, ruang tengah dan ruang belakang atau bisa kukatakan itu adalah ruang makan dilengkapi dapur kecil. Setiap ruangan hanya dipisahkan oleh sekat berupa dinding dengan cat berwana kuning. Sebuah tempat tidur yang sangat besar terletak di ruang tengah. Tidak ada kamar! Aku cukup kaget mengenai itu. Rumah yang aneh. Aneh atau unik, entahlah. Namun, ada yang kusukai dari rumah aneh ini. Walaupun kecil, rumah ini begitu bersih dan harum semerbak bunga dari air-conditioner pengharum ruangan. Harumnya sangat menenangkanku yang baru saja keseringan menghirup bau obat-obatan di rumah sakit. Ah! Ternyata, laki-laki nyentrik ini bersih juga. Tadinya kupikir, selain nyentrik, dia juga jorok. Dugaanku meleset!
Aku menyapukan pandanganku ke setiap sudut ruangan. Aku melihat beberapa foto yang difigura terpajang di dinding dan sebagian yang lain ada yang berdiri tegak di atas sebuah meja. Seketika, pandanganku terfokus pada sebuah foto yang dibingkai dengan figura besar. Ya, itu adalah foto aku dan dia – laki-laki yang bernama Rio itu. Kami memakai baju pengantin. Di foto itu, aku terlihat tersenyum bahagia dalam dekapannya.
“Itu foto kita saat menikah. Kau sudah ingat?” ujarnya membuyarkanku
“Ah!” aku terkejut.