Lihat ke Halaman Asli

Orang Pinggiran

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kadang orang mengatasnamakan agama sebagai suatu perbedaan. Suku, adat, budaya, bahkan negara. Tapi meski sudah kohesif, tak jarang juga yang berseteru. Dalam agama masih ada aliran, yang mengharuskan mereka untuk lagi-lagi beradu argument.  Dalam kohesifitas orang pribumi bangsa Indonesia, ada juga yang masih berseteru. Lantas persamaan yang bagaimana lagi yang di dinginkan untuk sebuah kata “persatuan”. Semua saling menikam, semua saling berebut, bahkan tak jarang terinjak sodara sendiri.

Sebuah kisah singkat lucu di kotaku yang bernama “malang” ini. kohesifitas ternyata tak mampu menentukan seberapa kompak sebuah kelompok jika kohesifitasnya hanya berdasarkan nama dan bukan tujuan atau pemikiran. Sebuah realita kecil, tapi sangat miris. Bagaimana tidak kotaku yang semakin tumbuh dewasa ini kian hari kian mengokohkan gedung dan temboknya, lalu lalang kendaraan bermotor, dan kemacetan di berbagai sudut kota. Menyisahkan cerita tentang sebuah kelompok minorotas kalangan bawah yang harus berjuang demi menyambung hidup. Segala cara ditempuh, mulai dari berusaha dengan kerja keras, hingga harus menghilangkan rasa malu untuk menengadahkan tangan di tiap trafficlight. Sebagian besar menghabiskan hidupnya di jalanan.

Berbagai upaya dilakukan pemerintah dan banyak lembaga-lembaga yang peduli terhadap mereka, terutama pada para muda-mudi dan cikal bakal penerus bangsa, tapi tak cukup banyak pula untuk menampung jumlah mereka yang kian lama kian membludak. Memperjuangkan mereka dan keluarganya untuk “mentas” dari kemiskinan dan kebiasaan meminta-minta di jalan bukanlah hal yang mudah. Mengajarkan untuk berjuang hidup dengan kerja keras dan tidak lagi menjadi peminta-minta. Mengajarkan tentang agama, pendidikan, dan segala hal yang seharusnya di enyam sejak usia dini.

Disini saya tidak sedang mencoba membeda-bedakan agama. Hanya cerita kecil mengenai kisah anak jalanan yang terdiskriminasi oleh orang-orang dari agamanya sendiri. Kebanyakan islam agama mereka, namun tak mengerti bagaimana ajaran2 yang harus diamalkan sesuai agamanya. Dengan bantuan dari organisasi yang peduli mereka mulai dari nol, belajar agama salah satunya dengan mengaji Al Quran. Kegiatan belajar mengaji mereka terpusat di emperan sebuah toko besar pusat perbelanjaan di kota malang. lucunya, mereka mengaji di emperan  karena tidak mendapatkan izin untuk melakukan kegiatan mengaji di sebuah masjid besar di kota malang, dengan alasan kotor, pihak masjid tidak memberikan izin untuk mereka melakukan kegiatan disana. dan lagi yang lebih lucu, orang yang berbaik hati memberikan tempat di emperan tokonya bukanlah orang islam dan merupakan orang dari agama lain yang sekaligus memberikan bantuan meski hanya sekedar minuman gelas untuk para anak jalanan yang sedang belajar mengaji. Subhanallah. Ketika sebuah kohesifitas atas nama agama tidak menggugah hati untuk saling membantu, ada orang dari kalangan berbeda yang mampu melihat dan mendengar dengan hati. Apa yang salah dengan ini? apa yang salah dengan semuah persamaan? Apa yang salah dengan sebuah perbedaan?

Satu pesan untuk kita semua,

Mari mendengarkan dari hati, melihat dari hati, dan bekerja dengan hati…

Disitulah sebuah keikhlasan tercipta. Semoga kita bisa lebih banyak belajar untuk peduli terhadap sesama tanpa memandang status dan agama (:

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline