Lihat ke Halaman Asli

Dinda novelia

Mahasiswa pendidikan sejarah dan sosiologi. because by writing I can capture my thoughts, and hope to benefit the reader

Sukses Butuh Pengorbanan

Diperbarui: 11 April 2019   13:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pustakatoday.com

Sukses adalah hak semua orang. Tak memandang keturunan, warisan, ataupun modal yang dimiliki. Kuncinya adalah sadar, ingin, berkorban dan mau memperjuangkan sepenuh hati.

Anda ingin sukses??? Anda harus berkorban. Ketika kita lulus dari Sekolah menengah atas mungkin dilema menghampiri diri kita, "kuliah atau kerja ya?? Aku pengen jadi orang sukses". kuliah dan kerja sama-sama butuh pengorbanan.  Banyak sekali teman-teman saya yang pergi merantau keluar pulau untuk bekerja ataupun kuliah agar kelak ia bisa sukses. Bukan hanya berandai-andai dan berangan-agan saja, tapi dengan melakukan tindakan yang nyata.

Di artikel sebelumnya saya bercerita tentang pasangan suami istri yang berprofesi sebagai dokter yang menurut pandangan saya dan kebanyakan orang mereka adalah orang yang sukses. Apakah sukses dengan mudah ia dapatkan? Tentu tidak, sukses diperoleh melalui sebuah proses, dan dalam proses tersebut pasti butuh yang namanya sebuah pengorbanan. Mulai dari mengorbankan waktu bersama dengan keluarga dan anak-anaknya, mengorbankan tenaganya, mengorbankan waktu tidurnya, mengorbankan waktu untuk bersantai, bahkan yang hal yang menurutnya sangat berhargapun sebagai seorang ibu ia korbankan yaitu menikmati masa tumbuh dan berkembangnya anak-anak mereka, untuk mengejar karir agar ia bisa sukses.

Jika diartikel sebelumnya saya bercerita tentang Pak Dokter dan Bu Dokter, di artikel ini saya akan bercerita tetang perjuangan teman saya yang bercita-cita menjadi seorang Bidan yang bekerja kepadan Ibu Dokter dan Bapak Dokter.

Sekar (nama samaran), anak kedua dari 2bersaudara, Kakak nya Bima (nama samaran). Berasal dari Blitar, sejak kecil sekar dan keluarganya merantau ke Bali. Ayahnya meninggal akibat Diabetes ketika ia duduk dibangku kelas 2SMA, ibunya seorang penjual nasi disalah satu warung makanan khas Jawa yang dekat dengan pantai Kute di Bali. Ia menempuh pendidikan D3 Akademi Kebidanan disalah satu perguruan tinggi di Bali kemudian melanjutkan S1 disalah satu perguruan tinggi di Kota Kediri. 

Dalam menempuh pendidikan S1 nya, ia harus berkorban jauh dari orang tuanya serta harus mengirit uang jatah bulanan nya yang terkadang ia rasa kurang cukup dan Usai menyelesaikan pendidikan S1 nya ia melamar pekerjaan di beberapa Rumah Sakit yang berada di kota Kediri dan Blitar. Tapi sayang semua lamaranya pun ditolak dengan alasan kalau jumlah bidan yang dibutuhkan dalam sebuah rumah sakit cuma sedikit, lain lagi dengan perawat yang jumlahnya bisa 10kali lipat dibandingkan dengan jumlah bidan dalam sebuah rumah sakit. Setelah beberapa kali melamar pekerjaan dan hasilnya Nihil semua, akhirnya ia kembali ke Bali dan bekerja disalah satu Klinik Bersalin, tapi bukan sebagai Bidan, namun hanya sebagai Asisten Bidan. 

Setelah beberapa bulan ia bekerja disana akhirnya ia melamar kerja di salah satu Rumah Sakit swasta yang ada di kota Malang. Hasilnya bagaimana??? Ia ditolak. Tapi ia masih berkesempatan untuk bisa bekerja disana dengan satu syarat, jika ia bersedia mengasuh putri kelima dari pasangan Bu Dokter dan Pak Dokter yang saat itu masih berusia kurang lebih 2minggu selama 2tahun. "jadi bidan itu susah kalo gak punya kenalan atau koneksi sama orang dalem, lagian toh cuma 2tahun. Gak papalah walaupun selama 2tahun jadi bebysister dulu, toh nanti setelah 2tahun aku sudah jadi Bidan. 

Udah ngelamar kesana kemari selalu ditolak, kasian ibuk&mas aku yang udah banting tulang tiap hari demi ngebiayain kuliah aku yang biaya nya gak sedikit dan berharap banget kalo aku bisa jadi Bidan profesional. Aku termasuk salah satu orang yang beruntung bisa ketemu sama Pak Dokter dan Bu Dokter, yang udah ngasih aku harapan kalo aku emang bener-bener bisa jadi bidan. Dibandingkan dengan teman-teman aku yang sama-sama lulusan kebidanannya tapi setelah lulus langsung nikah gitu aja, ijasahnya di anggurin gak dipakek buat ngelamar kerja karena beberapa kali ngelamar kerja di tolak". ceritanya ketika saya baru pertama kali satu tempat tinggal denganya.

Terus gimana, gak ribet apa ngurusin bayi, secara kan belum ada pengalaman ngurus bayi???  "awalnya sih susah, susah banget. Kadang-kadang juga pengen nyerah, pengen balik aja ke Bali bantuin ibuk aku jualan nasi. Tapi aku inget-inget lagi pengorbanan ibuk&mas aku yang rela berkorban jual mobil dan banting tulang setiap hari buat ngebiayain kuliah aku. Kadang-kadang aku nangis kalo inget perjuangan dan pengorbanan mereka"

Pasti berat ya jauh dari orang tua dan keluarga??? "berat banget, walaupun dulu waktu kuliah di Kediri juga jauh dari orang tua dan keluarga. kadang-kadang uang bulanan telat dikirim sampek-sampek ngutang dikantin atau kadang-kadang pinjem temen. Belum uang bensin, beli kuota internet, foto copy tugas, print, uang jajan segala macem, sampek-sampek dulu aku pernah makan nasi lauknya cuma pake  bumbu pecel aja soalnya pas warung nasi ibuk aku sepi dan telat ngirim uang bulanan. 

Tapi semua itu gak seberat ini. Waktu kuliah aku masih bisa main sama temen-temen aku walaupun kuliah aku itu sibuk banget dan banyak banget tugas, masih sempet liat drama korea, masih sempet main ke mall beli baju atau cuma jalan-jalan doang, masih bisa menikmati masa mudaku lah intinya. Masih bisa hubungin keluarga setiap saat bahkan setiap 3jam sekali aku hubungin ibuk aku. Jadi walaupun berat tapi gak kerasa. Gak kayak sekarang, waktu komunikasi aku sama ibuk aku terbatas banget. Kadang baru ngobrol 2menit si bayi udah nangis, yang minta susu, ganti popok lah, buang air besar lah, rewel, pokok nya ada ajalah. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline