Lihat ke Halaman Asli

Analisis Budaya Kematian dalam Film "Living with the Dead" dan "Three Laughing Monks"

Diperbarui: 25 Desember 2024   22:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

 

Film "Living with the Dead" menggambarkan perbedaan budaya yang signifikan dalam cara masyarakat menghadapi kematian. Di Tana Toraja, Sulawesi, orang yang telah meninggal dunia diawetkan dan disimpan di rumah selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun sebelum dimakamkan. Praktik ini sangat berbeda dengan budaya Barat dan banyak budaya lainnya, di mana orang yang meninggal biasanya langsung dikremasi atau dikuburkan. Meskipun mungkin terlihat aneh bagi orang Barat, tradisi di Tana Toraja memberikan dampak emosional dan psikologis yang positif bagi komunitas setempat. Dengan menyimpan jenazah di rumah, keluarga memiliki waktu untuk berduka dan berdamai dengan kehilangan, serta tetap merasa terhubung dengan orang yang mereka cintai yang telah pergi.

Pemakaman di Toraja juga dilakukan tanpa formalin dan melibatkan ritual yang terintegrasi dengan agama-agama baru. Pemakaman ini menjadi kesempatan bagi keluarga untuk menyesuaikan diri dengan kematian dan menjaga interaksi sosial antara yang hidup dan yang telah meninggal. Tradisi pemakaman di Toraja adalah praktik unik yang membantu masyarakat megatasi kesedihan akibat kehilangan dengan cara yang berbeda dari kebiasaan umum.

Dari video "Three Laughing Monks Story-Zen Motivation," kita belajar tentang tiga biksu tua di Tiongkok kuno yang selalu bepergian bersama dan tertawa. Tawa mereka menular dan membawa kebahagiaan bagi semua orang di sekitar mereka. Ketika salah satu biksu meninggal, dua biksu lainnya tetap tertawa, menjelaskan bahwa biksu yang meninggal telah memenangkan taruhan tentang siapa yang akan mati lebih dulu. Dalam wasiatnya, ia meminta agar dikremasi dengan pakaian yang dikenakannya saat meninggal. Ketika api menyala, pakaian tersebut meledak dalam kembang api berwarna-warni, membuat semua orang yang hadir tertawa bersama.

Tawa para biksu bukan hanya ekspresi kebahagiaan; ia mengandung makna spiritual yang mendalam. Mereka percaya bahwa realitas melampaui dunia material dan bahwa tawa serta kebahagiaan dapat mengakses dimensi spiritual. Tujuan hidup mereka adalah menemukan kebahagiaan dan menjalani hidup dengan sukacita. Ketika salah satu biksu meninggal, dua biksu lainnya tidak bersedih; mereka justru tertawa lebih keras karena percaya bahwa kematian adalah bagian alami dari kehidupan.

Pelajaran penting dari kisah tiga biksu ini adalah bahwa kebahagiaan sejati tidak berasal dari harta atau kesuksesan duniawi, melainkan dari dalam diri dan hubungan dengan orang lain. Tawa mereka menjadi simbol kebahagiaan tulus yang tidak terpengaruh oleh keadaan eksternal. Kebersamaan ketiga biksu menunjukkan betapa pentingnya dukungan sosial dalam menghadapi tantangan hidup. Tawa mereka memperkuat hubungan antar sesama dan menyampaikan pesan moral untuk menikmati hidup dengan penuh sukacita, rasa syukur, dan optimisme.

Pengalaman pribadi penulis saat menghadapi kehilangan ibu mengingatkan penulis pada pelajaran dari video ini. Awalnya, penulis merasakan kesedihan mendalam dan keputusasaan. Namun, seiring waktu, penulis belajar menerima kematian sebagai bagian dari kehidupan dan menemukan kekuatan untuk melanjutkan hidup. Semua itu adalah titipan dari Tuhan. Inti pelajaran yang penulis ambil adalah tentang penerimaan dengan hati lapang, makna tawa, kebersamaan, dan rasa syukur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline