Lihat ke Halaman Asli

Populisme, Sebuah Era Baru Pasca Otoritarianisme

Diperbarui: 15 September 2024   23:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar: the Conscious Vibe: The Brain, Body, Universe, and Circle of Life

Pasca Perang Dunia II, demokrasi menjadi tren negara ideal di berbagai belahan dunia. Di sisi lain, negara-negara timur masih berjuang untuk mengadopsi dan beradaptasi dengan iklim baru pada sistem demokrasi. Terutama pasca lepas dari kekangan era kolonialisme dan sistem parokial yang kental dalam negara. 

Demokrasi menjadi angin segar bagi negara negara yang muak dengan kesewenang-wenangan sistem tradisional dan Monarki (Huntington,1999). Mirisnya, Barat yang menjadi contoh dan model ideal demokrasi telah mengukir catatan gelap dengan ekspansi kolonialisme sejak ratusan tahun sebelumnya. 

Demokrasi barat sejatinya menimbulkan paradoks tersendiri, tentang bagaimana HAM dapat ditegakkan ketika seluruh masyarakat hidup dalam sistem liberalisme yang menyuburkan ketimpangan. 

Implementasi demokrasi di negara negara dunia ketiga realitanya melahirkan instabilitas struktural yang masif. Ketidaksiapan elite dan kualitas civil society yang rendah menciptakan kebuntuan sistem serta iklim politik yang tidak stabil. 

Hegemoni demokrasi liberal yang dianggap sistem ideal mulai menyurut, kasus kasus yang terjadi pada negara-negara dunia Ketiga membuktikan bahwa keberhasilan suatu sistem tergantung pada konteks sosial budaya dan sejarah yang dialami oleh masyarakatnya. 

Treatment demokrasi nyatanya belum begitu tepat diterapkan pada masyarakat yang masih dibayangi oleh trauma kolonialisme, sistem feodalisme yang kuat, dan kualitas pendidikan yang rendah. Sehingga, pada pertengahan tahun 1960-1970-an muncul fenomena pergeseran kekuasaan di berbagai negara, terutama negara dunia Timur. 

Sistem otoritarianisme atau tangan besi mulai bermunculan. Fenomena ini juga dibarengi sekaligus dipengaruhi oleh peristiwa Perang Dingin yang berlomba-lomba menyebarluaskan dua Kutub ideologi besar melalui strategi yang kita kenal dengan Proxy War.

        Otoritarianisme mulai bersemi, dianggap menjadi solusi atas kegagalan sistem demokrasi. Praktik otoritarianisme ditandai dengan kudeta sipil atas sekelompok militer. Machiavelli, seorang pemikir politik Eropa abad pertengahan bahkan telah lebih dulu menekankan bahwasanya represi fisik adalah wajib dilakukan oleh penguasa demi menjaga stabilitas suatu negara. 

Nicollo Machiavelli, filsuf politik asal Italia/https://www.typologycentral.com/

Demokrasi nyatanya menghadirkan kekuatan dan suara suara kecil yang membuka ruang ruang baru bagi gerakan separatisme dan radikalisme, mengancam eksistensi negara sebagai entitas kuasa yang seharusnya tak terkalahkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline