Lihat ke Halaman Asli

Bicara tentang Perempuan : Memahami Narasi Seksis yang Hanya Dianggap Lelucon

Diperbarui: 9 Desember 2024   21:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Belakangan ini, kita seringkali menemukan narasi seksis yang muncul dalam bentuk candaan atau guyonan di berbagai ruang publik termasuk dalam media sosial. Narasi-narasi ini sering dipandang sebagai hal yang tidak serius-sekadar lelucon tanpa dampak besar. Namun, penting untuk menyadari bahwa di balik "lelucon" tersebut, terdapat sistem nilai yang memperkuat ketidaksetaraan gender dan merendahkan perempuan.

Salah satu contoh nyata yang bisa kita temui adalah video viral ceramah seorang ustadz yang mengomentari tubuh perempuan secara merendahkan. Meski sebagian orang mungkin menganggapnya sebagai bagian dari humor, ada pesan yang terkandung di dalamnya-bahwa tubuh perempuan adalah objek yang bisa diperbincangkan dengan bebas tanpa mempertimbangkan martabat dan hak-haknya. Bahkan, tak jarang narasi-narasi seksis seperti ini mendapatkan respons positif, dengan banyak yang menganggapnya "lucunya" saja. Ironisnya, inilah yang menjadi masalah utama-narasi seksis dianggap wajar dan tak berbahaya hanya karena dibalut dengan humor atau candaan.

Pandangan seperti ini tidak bisa dilepaskan dari budaya patriarki yang sudah lama mengakar dalam masyarakat. Dalam budaya patriarki, perempuan sering diposisikan dalam peran tertentu yang dianggap lebih rendah, seolah mereka bukan individu yang setara dengan laki-laki. Hal ini tercermin dalam berbagai narasi yang diproduksi dan disebarluaskan melalui berbagai saluran. Dalam hal ini, humor atau candaan yang merendahkan perempuan berfungsi sebagai alat untuk memperkuat stereotip gender. Tentu saja, bukan berarti seluruh humor atau lelucon yang berkaitan dengan perempuan harus dihindari. Namun, saat humor tersebut berisi elemen merendahkan atau menghina perempuan, maka kita perlu untuk mempertanyakannya. Humor yang merendahkan hanya memperlihatkan ketidaksetaraan yang terinternalisasi dalam masyarakat. Ketika perempuan menjadi objek lelucon yang dapat diperlakukan sembarangan, maka nilai-nilai kesetaraan dan penghormatan terhadap martabat manusia menjadi kabur.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menyadari bahwa narasi seksis yang sering dianggap "hanya lelucon" itu sebenarnya berpotensi memperparah ketidaksetaraan gender yang ada. Dalam menghadapi fenomena ini, kita perlu mengubah cara pandang kita terhadap apa yang kita anggap sebagai "humor" dan memahami dampak dari narasi-narasi tersebut. Ini adalah langkah awal untuk menciptakan ruang yang lebih aman dan setara, terutama untuk perempuan, di tengah-tengah masyarakat yang semakin terbuka terhadap perubahan sosial.

Pendidikan yang merata, komunikasi yang terbuka, dan kesadaran akan pentingnya menghormati hak serta martabat setiap individu, termasuk perempuan, adalah fondasi utama untuk membangun masyarakat yang adil dan sejahtera. Masyarakat harus diberi pemahaman bahwa menghargai martabat perempuan bukanlah sekadar kewajiban moral, tetapi juga bagian dari hak asasi manusia yang harus dilindungi. Meskipun perubahan budaya ini memerlukan waktu, kita semua-baik pemuka agama, tokoh masyarakat, hingga individu-memiliki peran yang sangat penting dalam menciptakan kesadaran ini.   Masyarakat yang menghargai perempuan juga akan menciptakan hubungan sosial yang lebih harmonis, mendukung kolaborasi, dan meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan. Melalui pendekatan ini, kita dapat mengurangi norma-norma seksis dan membangun masyarakat yang lebih setara dan adil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline